Selasa, 28 Desember 2010

Menuju Olahraga Berprestasi

|0 komentar
Belajar Dari Timnas Sepakbola Indonesia Pada Piala AFF 2010

Prestasi Tim Nasional Indonesia yang melaju ke Final Piala Asean Football Federation (AFF) 2010 yang mengalahkan lawannya dengan skor cukup meyakinkan mampu menjadi atmosfir baru di Negara berpenduduk 230 juta jiwa ini. Biasanya tak ada hiruk pikuk seramai ini, tak ada liputan seheboh sekarang ataupun menyeret banyak pihak untuk berkomentar. Namun saat ini banyak dirasakan disetiap ruang public hampir pembicaraan masyarakat masih saja seputar bola. Meski harga cabai naik tinggi, gaji PNS bertambah maupun sidang-sidang kasus korupsi masih digelar, tetap saja kalah ekspos dengan sepak bola. Masyarakat Indonesia yang memang gandrung bola sudah tak sabar menanti penantian panjang mereka.

Dalam catatan prestasi sepakbola Indonesia, terakhir mengukir sejarah yaitu tahun 1991 pada saat Sea Games. Sembilan belas tahun sudah Timnas Indonesia tak pernah minum pelepas dahaga kejuaraan resmi bahkan pada Sea Games 2009, Indonesia tak berani menurunkan skuadnya. Kenyataan ini diperparah oleh pengelolaan kompetisi dalam negeri yang karut marut dan amburadul. Lempar botol, petasan, pemukulan wasit, perkelahian antar pemain bahkan rusuh supporter selalu ada dalam tiap musim kompetisi. Dalam babak penyisihan Piala AFF kali ini, skor telak mampu ditorehkan oleh Timnas yang berisi pasukan muda dan senior.

Tidak hanya Malaysia yang dibabak penyisihan dibantai 5-1 namun hingga Philipina yang berisi pemain-pemain eropa tak mampu membendung kekuatan Indonesia. Kiper no 4 klub liga Inggris Fulham dibuat tak berdaya oleh Cristian “El Loco” Gonzales. Hal inilah yang membuat hysteria masyarakat Indonesia melupakan beban kehidupan mereka sehari-hari. Berita media massa baik cetak ataupun elektronik dihiasi oleh liputan sepak bola. Seakan-akan Piala AFF ini merupakan piala dunia yang membuat Indonesia terkenal seantero jagad raya. Padahal levelnya masih Asia Tenggara dan belum ada apa-apanya. Menjejak final Piala AFF pun sudah pernah terjadi hingga 3 kali (dulu bernama Piala Tiger).

Seharusnya semua pihak menyadari bahwa prestasi ini patut dihargai bukan di eksploitasi. Bayangkan hampir semua pemain Indonesia ditelanjangi habis-habisan seakan mereka harus terbuka pada masyarakat atas kehidupan mereka. Inilah yang diduga banyak pihak menyebabkan kekalahan telak atas Tim Harimau Malaya, Malaysia dengan skor 3-0. Ketertarikan ini tidak hanya dirasa dan menjadikan masyarakat menjadi ingin dekat namun media, komunitas agama hingga politikus ingin memanfaatkannya. Semua mendekat dan seakan-akan dianggap paling berjasa atas prestasi yang diraih Timnas. Masyarakat berjubel menyaksikan sessi latihan Timnas, pemain di foto, diwawancara, diminta berkomentar hingga di depan kamar mereka menginap.

Politikus memanfaatkannya dengan mengundang rombongan ke rumah salah satu ketua partai politik. Magnet yang luar biasa dan belum pernah dalam sejarahnya sepakbola dianggap sedemikian hebatnya. Menurut analisis salah satu tokoh (maaf saya lupa, kalau tak salah Effendi Ghozali), histeria menyatunya rakyat itu dapat timbul karena 3 hal yakni bencana alam, prestasi dan perang. Kalau perang, terbukti pemimpin kita takut menyatakannya, dan bencana alam sudah hampir menjadi menu tahunan bangsa ini. Sementara olahraga prestasi dan digandrungi masyarakat sudah lama tak hadir. Bulutangkis yang menjadi primadona Indonesia sudah lama tak meraih gelar bergengsi dengan sapu bersih. Jangankan ajang olimpiade, arena Sea Games saja sudah susah payah kita meraihnya.

Banyak pakar mengungkapkan rasa syukur patut dipanjatkan tapi tak seharus segemebyar sekarang ini. Kita tahu PSSI selaku otoritas sepakbola sudah lama tak becus mengurusi kompetisi regular, dana ratusan miliar dari APBN, sponsor maupun FIFA yang masuk ke PSSI tak pernah jelas digunakan untuk apa. Juara Liga Indonesia sering menerima hadiah yang melewati setengah tahun setelah angkat piala padahal pihak sponsor mengaku telah memberikan pada PSSI. Partai politik sendiri rupanya hobi memasukkan kadernya dalam kepengurusan sehingga ketika olahraga harus dikelola secara professional, tak terlihat. Lihat saja soal kepemimpinan wasit, sanksi yang diberikan ataupun level kompetisi untuk skala pemula, junior maupun senior tak karuan.

Para agamawanpun mau-maunya melibatkan diri dalam hiruk pikuk Piala AFF kali ini. Tawaran mengundang Timnas saat istighotsah tak mereka tampik meski berdoa itu penting namun harusnya tak mencampur adukkan antara olahraga dengan agama. Jadinya seperti sekarang ini. Sudah sejak lama masyarakat tidak diajarkan bertindak fair ketika tim kebanggaannya kalah sehingga di Final pertama Piala AFF saat dibekuk Malaysia 3-0 macam-macam komentarnya. Ada serbuk gatal, sinar laser, petasan dan seribu alasan lainnya. Yang menggelikan justru komentar itu muncul dari Ketua Umum PSSI.

Mestinya pengurus PSSI membiarkan Timnas diurus Manajer dan pelatihnya sedangkan mereka memberesi persiapan leg II di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Akibatnya soal tiket saja rusak dan runyam. Tidak hanya kehabisan tiket namun juga penipuan tiket yang nyata-nyata terjadi di penjualan tiket dalam stadion. Sungguh sangat memalukan dan tidak menunjukkan kemampuan manajerial yang baik. Tak heran seiring perjalanan Timnas di Piala AFF, ada juga yang menggalang dukungan menuntut Ketua Umum PSSI meletakkan jabatannya karena dianggap tak becus mengurus olahraga kebanggaan masyarakat.


Menciptakan atlet olahraga yang berprestasi baik level lokal, regional maupun internasional tak bisa dengan cara instan. Semuanya harus dibangun infrastruktur maupun manajemen secara profesional. Sudah jadi rahasia umum suap menyuap prestasi olahraga maupun orang yang akan jadi atlet profesional. Maka dari itu ciptakan sistem yang baik, berjenjang dan secara serius dikelola oleh orang-orang yang faham dalam manajemen keolahragaan. Manajemen tidak hanya orang yang memiliki kapasitas mengurus organisasi olahraga namun juga membuat seorang atlet mampu berpikir dan bertindak profesional atas profesi maupun menjadi kebanggaan negaranya

Pemerhati sepakbola lainnya juga mengecam terseretnya hysteria sepakbola oleh para politikus. Menurutnya para politikus hanya mengalihkan rasa frustasi mereka dalam bidang politik agar bisa merasa kesegaran kembali. Kalau politikus itu benar-benar tertarik, mestinya mereka mampu mendesak pemerintah untuk lebih berkonsentrasi membina sepakbola dari level pemula atau dasar. Komisi X yang membidangi olahraga seharusnya mampu mendesak Menpora untuk mengeluarkan kebijakan satu sekolah satu lapangan olahraga supaya masyarakat kita terbiasa “sehat”. Sudah terbukti wakil kita di Komisi X tak bernyali untuk bersuara lantang menyuarakan kepentingan masyarakat.

Lantas apa yang akan kita lakukan? Kita harus terima apapun hasil Final Leg II antara Indonesia vs Malaysia malam nanti. Disisi lain marilah kita semua mulai membangun keolahragaan kita tidak hanya fisiknya saja namun juga hati dan pikirannya. Ini penting agar olahragawan-olahragawan junior yang akan lahir mampu jadi olahragawan cerdas yang mampu mengembangkan diri secara optimal dan berusaha secara fair meraih kemenangan yang selalu terbuka. Untuk pemerintah, kalau tak bisa membenahi olahraga, sebaiknya memang tak usah turut campur. Biarkan masyarakat mengelola olahraga secara mandiri.

Selasa, 21 Desember 2010

Gedung DPR RI

|0 komentar
Gedung Nusantara I
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) didirikan pada 8 Maret 1965. Saat itu, Presiden Soekarno mencetuskan untuk menyelenggarakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang merupakan wadah dari semua New Emerging Forces. Anggota-anggotanya direncanakan terdiri dari negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara Sosialis, negara-negara Komunis, dan semua Progresive Forces dalam kapitalis.

Conefo dimaksudkan sebagai suatu tandingan terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Melalui Keppres No. 48/1965, Soekarno menugaskan kepada Soeprajogi sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT). Menteri PUT kemudian menerbitkan Peraturan Menteri PUT No. 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo.Bertepatan dengan Perayaan Dasa Warsa Konferensi Asia-Afrika pada 19 April 1965 dipancangkanlah tiang pertama pembangunan proyek political venues di Komplek Senayan Jakarta. Rancangan Soejoedi Wirjoatmodjo Dpl Ing ditetapkan dan disahkan presiden pada 22 Februari 1965. Maketnya menampakkan seluruh bangunan komplek dan rancangan aslinya tampak keseluruhan saat dipandang dari Jembatan Semanggi.

Ketika pembangunannya dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, nuansa danau buatan tak tampak dan bangunan komplek terlihat ketika melewati Jalan Gatot Subroto. Ruang Arkada di bawah tanah ditiadakan dan luasnya menjadi 60 ha, dengan luas bangunan sekitar 80.000 m2.
Masjid di komplek DPR RI
Komplek DPR/MPR terdiri dari Gedung Utama (Nusantara) yang berbentuk kubah, Nusantara I atau Lokawirasabha setinggi 100 meter dengan 24 lantai, Nusantara II, Nusantara III, Nusantara IV, dan Nusantara V. Di tengah halaman terdapat air mancur dan "Elemen Elektrik". Juga berdiri Gedung Sekretariat Jenderal dan sebuah Masjid. Atas amandemen Undang-undang Dasar 1945 (UUD'45), dalam Komplek DPR/MPR telah berdiri bangunan baru untuk kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Komplek DPR/MPR tersebut masuk dalam wilayah Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Gelora, sebelah selatan dengan Komplek Kantor Menteri Olahraga RI, Komplek Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan Komplek Taman Ria Senayan, di sebelah timur berbatasan dengan Jalan Gatot Subroto, dan Komplek Menteri Kehutanan di sebelah utaranya.

Lahan Parkir Mobil DPR RI
Pemandangan yang paling jelas saat dilihat dari Jalan Gatot Subroto di sebelah timur. Karena gelombang demokrasi, beberapa kali pintu utama pernah jebol oleh kuatnya aksi demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat sehingga pemagaran komplek DPR/MPR diperkokoh. Beberapa bangunan baru juga telah berdiri melengkapi sarana dan prasarana yang ada bagi wakil rakyat. Ada juga lahan parkir dibawah tanah. Kantin sendiri secara resmi cuma ada 2 yakni yang biasa dimanfaatkan oleh para anggota yang terdapat di Gedung Nusantara I maupun para staf dan tenaga ahli mereka (dekat parkiran sepeda motor).

Gedung Nusantara I saat ini terdiri dari 24 lantai yang digunakan oleh 9 fraksi dari 9 partai politik. Jumlah anggota DPR mencapai 560 orang, ditambah 1 orang staf atau asisten pribadi maupun tenaga ahli. Rencananya tahun 2011 akan ada penambahan 1 tenaga ahli tiap anggota DPR atau setidaknya ada 2240 orang. Jumlah sebanyak itu belum termasuk staf sekretariat fraksi, staf poksi, tenaga ahli fraksi, office boy, Pamdal atau tamu yang datang. Sebenarnya kapasitas gedung perlu diperhatikan agar tak overload serta membahayakan wakil rakyat kita. Sarana lift sebenarnya juga terbatas atau hanya ada 8 lift (4 khusus anggota dan 4 lift utk keperluan lain).



Lap sepak bola di komplek DPR RI
Nampaknya pengajuan pembangunan gedung baru DPR RI yang beberapa waktu lalu menjadi polemik kini telah diputuskan ditunda. Mereka (DPR) harus benar-benar mampu menjelaskan kenapa gedung baru diperlukan dan juga membuktikan diri bahwa kinerja mereka akan semakin membaik. Kalau supporting sistem terus menerus ditambah namun tak pernah menguntungkan masyarakat, saya prediksi penolakan keras akan bergelora kembali. Jadi, sejak dini sebaiknya disosialisasikan rencana pembangunan gedung, alasannya serta apa manfaat yang paling tidak akan didapatkan oleh masyarakat meski tidak langsung dan jangka panjang. Meski demikian, sejauh pengamatan saya ya tidak ada korelasinya pembangunan gedung dengan peningkatan kinerja meski itu berhubungan.

Selasa, 14 Desember 2010

Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah

|0 komentar


Rata-rata pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia mengandalkan pendapatan daerahnya dari dana DAU (Dana Alokasi Umum) maupun DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk menjalankan pembangunan. Di beberapa daerah yang lain, yang kaya akan sumber daya alam lebih mengandalkan Dana Bagi Hasil dari pemerintah pusat. Sedangkan kontribusi dari Pendapatan Asli Daerah (baik berupa pajak maupun retribusi) sering menyumbangkan pendapatan tak lebih dari 20 persen total pendapatan daerah. Kenapa begitu? Ada berbagai factor yang dapat melatarbelakangi motif Pemda melakukannya.

Bisa jadi karena memang potensi pajak dan retribusinya kecil atau malah memang berargumentasi tak mau memberi beban lebih pada masyarakat. Sayangnya pada kedua alasan itu sering ditemukan berimbas pada layanan publik yang tak optimal. Kalau mau ditelisik lebih jauh, Pendapatan Asli Daerah/PAD yang banyak memberi sumbangan adalah dari retribusi kesehatan. Meski banyak orang sangat mengerti layanan kesehatan di Indonesia pada rumah sakit-rumah sakit negeri banyak yang tidak optimal. Apalagi bagi pengguna Jamkesmas atau Jamkesda. Ada banyak kasus layanan yang setengah hati atau masyarakat harus rela menunggu operasi atau mendapat penanganan yang ala kadarnya.

Lantas, solusi apakah yang bisa diambil para pengambil kebijakan ditingkat daerah agar PAD dapat meningkat signifikan tanpa menambah beban masyarakat? Haruskan mengambil kebijakan tak popular seperti yang sempat akan diterapkan di Jakarta yaitu mengenakan pajak pada warung makan berpenghasilan Rp 60 juta/tahun alias Rp 5 juta/bulan? Akan sangat banyak warung makan terkena pajak bila Raperda ini diberlakukan sebab warung makan beromset Rp 165 ribu/hari di Jakarta tentu sangat banyak. Maka dari itu, pemerintah daerah perlu berhati-hati dalam melakukan pemetaan dan pengetatan pengelolaan pendapatan daerah.

Sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pemasukan dari retribusi dan pajak yang memang menjadi kewenangan daerah. Pertama tentunya adalah intensifikasi pendapatan. Langkah ini dapat berupa pemetaan potensi pendapatan, pembuatan mekanisme pelaporan serta capacity building petugas pendapatan. Untuk pemetaan potensi pendapatan, daerah bisa melakukan survey pada objek retribusi tiap setahun sekali. Sebut saja pasar tradisional yang memberi kontribusi dari retribusi pedagang, parkir, keamanan maupun kebersihan. Empat potensi pemasukan dapat dikalkulasikan dengan melihat jumlah pedagang serta pengunjung pasar pada saat ramai maupun sepi. Tiap pasar akan mengalami keramaian maupun sepi pada saat-saat tertentu.

Kemudian untuk pembuatan mekanisme pelaporan, dapat menggandeng pihak-pihak yang ahli untuk mendesign bagaimana pelaporan pendapatan harian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Artinya setoran harian naik atau turun dapat disertai dengan keterangan kondisi objek pendapatan. Bila rata-rata harian pendapatan berkisar Rp 450 ribu namun suatu saat hanya masuk Rp 200 ribu harus disertai catatan yang jelas kenapa hal itu terjadi. Ini melatih petugas pungutan retribusi menganalisis lapangan kerjanya dan berinteraksi lebih jauh dengan pelaku. Sehingga para petugas penarik retribusi tidak sekedar bekerja bagai mesin tetapi membangun kondisi dan menciptakan komunikasi yang dapat membantu daerah menyampaikan pertanggungjawaban pada publik.

Capacity building bagi aparatur sebenarnya menempati posisi yang sama penting untuk penyelenggaraan pemerintahan. Cuma sayangnya berbagai ajang penyelenggaraan kegiatan selalu terlalu formal dan kaku sehingga materi-materi yang seharusnya dapat diserap optimal menjadi tidak berefek. Target membangun kapasitas ini lebih ditujukan pada membangun diri untuk memiliki komitmen dan bekerja secara jujur yang penulis yakin sudah jarang menemukan birokrasi kita yang seperti ini. Hal ini sebagai antisipasi upaya-upaya penyelewengan pendapatan jika pada saat tertentu petugas pungutan dalam kondisi tertentu. Misalnya saja menjelang lebaran, tahun ajaran baru atau ada keluarganya yang sedang terkena musibah.

Langkah kedua yang dapat dilakukan oleh kepala daerah yakni memberi reward and punishment pada pihak-pihak yang terkait dengan objek pungutan maupun petugasnya. Tidak usah terlalu sering dan bisa setahun sekali diselenggarakan sudah dapat menjadi semacam pemicu. Perumusan indikator pihak yang mendapat reward atau punishment dapat diselenggarakan secara terbuka sehingga masyarakat merasa dilibatkan. Rewardnya pun tidak selalu berbentuk nominal tertentu tapi bisa berupa insentif yang merangsang pelaku pada pendapatan bekerja bertambah baik. Bagi petugas pemungut misalnya diberi tambahan hari cuti atau mendapat kesempatan menemani kepala daerah saat melakukan kunjungan kerja untuk optimalisasi pendapatan ke daerah lain. Sedangkan bagi objek pungutan dapat diberi insentif berupa potongan retribusi untuk kurun waktu tertentu.

Kedua langkah ini dapat dimaksimalkan dengan langkah ketiga yakni publikasi. Di tengah era globalisasi dan media memegang peranan signifikan, tentu publikasi bagi penyelenggaraan pendapatan daerah akan semakin berjalan optimal. Objek maupun petugas pemungut akan merasa diperhatikan dan merasa dihargai sehingga menimbulkan dampak yang cukup baik bagi daerah. Masyarakat tentunya mengapresiasi langkah kepala daerah dengan sikap tertib memberi masukan maupun ikut berkontribusi bagi pemasukan daerah. Otomatis kedepannya, pendapatan daerah akan meningkat secara proporsional. Jadi, meningkatkan pendapatan daerah tidak selalu dengan cara ekstensifikasi pajak dan retribusi yang dapat menambah beban masyarakat.

Jumat, 03 Desember 2010

Kelola Keuangan Daerah Secara Tertib

|0 komentar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau disebut APBD merupakan dokumen rencana alokasi pendapatan maupun belanja bagi pemerintah daerah. Mestinya, penetapan APBD benar-benar menjadi pedoman yang baku bagi pelaksanaan pembangunan disebuah daerah. Kenyataannya masih banyak daerah yang menjalankan anggarannya lebih banyak minus bukan surplus. Berbagai kebijakan kepala daerah seringkali memberatkan anggaran bukan merencanakan pembangunan yang mampu memberi dampak lanjutan berupa pemasukan bagi kas daerah. Dengan catatan, pemasukan baru bukan menambah beban masyarakat ekonomi lemah.

Dalam undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (lihat pasal 3 ayat (1)). Maka dari itu prinsip-prinsip tersebut harus dipegang teguh bagi penyelenggara di daerah maupun pusat. Kenyataannya, pengeluaran pemerintah daerah mayoritas didominasi untuk pembayaran gaji pegawai. Belanja daerah terbagi menjadi 2 yakni belanja tidak langsung dan belanja langsung.

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jenis Belanja Tidak Langsung dapat berupa Belanja Pegawai, Belanja Bunga. Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil dan Belanja Tak Terduga. Sedangkan belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya program dan kegiatan yang direncanakan. Jenis Belanja Langsung dapat berupa Belanja Pegawai, Belanja Barang/ Jasa, dan Belanja modal.

Kita coba bedah anggaran belanja daerah di 7 kabupaten/kota se eks karesidenan Surakarta Tahun Anggaran 2010. Apakah benar faktor belanja pegawai merupakan faktor dominan bagi alokasi APBD (lihat tabel 1).


Tabel 1
Anggaran Belanja Daerah Kab/Kota Se Eks Karesidenan Surakarta
Tahun Anggaran 2010
No    Daerah                    BljTdk Lgs      Blj Lgs      Total Belanja       % BTL Thd TB    % BL Thd TB
1    Prov. Jawa Tengah    3,536,531     2,128,785      5,665,316                 62.42                  37.58
2    Kab. Boyolali               817,277        147,314         964,590                 84.73                  15.27
3    Kab. Karanganyar        642,043        152,272         794,316                 80.83                  19.17
4    Kab. Klaten                 907,426         121,536     1,028,962                 88.19                   11.81
5    Kab. Sragen                 663,489        194,411         857,901                 77.34                  22.66
6    Kab. Sukoharjo            586,736        194,740         781,475                 75.08                  24.92
7    Kab. Wonogiri              770,655        205,203         975,858                 78.97                  21.03
8    Kota Surakarta             561,160        277,093         838,253                  66.94                 33.06
Sumber : kemenkeu.go.id (diolah)

Dari ketujuh daerah, terlihat jumlah belanja terbesar ada pada Kabupaten Klaten yang mencapai lebih Rp 1 trilyun yang disusul Wonogiri dan Boyolali yang mencapai Rp 950 M lebih. Sedangkan belanja paling kecil dianggarkan Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar yang berkisar Rp 700 M saja. Bila dibedah pada alokasi belanja tidak langsung (yakni belanja untuk alokasi pegawai, bunga, subsidi dan lainnya), yang menghabiskan prosentase terbesar adalah Kabupaten Klaten. Sebanyak 88,19 persen alokasi belanja digunakan untuk belanja tidak langsung. Dua kabupaten yang juga menghabiskan alokasi belanjanya untuk belanja tidak langsung diatas 80 persen yakni Kabupaten Boyolali (84,73%) dan Kabupaten Karanganyar (80,83%).

Adapun distribusi terkecil untuk belanja tidak langsung dialokasikan oleh Kota Surakarta yang hanya mencapai Rp 561 M atau hanya 66,94 persen saja. Sisanya berkisar diatas 75 persen. Ini menandakan 6 daerah mengalokasikan anggaran lebih banyak pada belanja yang digunakan oleh pemerintah daerah. Otomatis bila demikian, alokasi belanja langsung (belanja untuk program dan kegiatan) dialokasikan oleh Kota Surakarta yang mencapai 33,06 persen (Rp 277 M). Di urutan kedua dan ketiga yang prosentasenya dibawah Surakarta adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sragen meski dilihat dari prosentasenya sangat kecil (kurang dari 25 persen).

Kabupaten Klaten, Boyolali dan Karanganyar bahkan mendistribusikan APBD untuk belanja langsung tak sampai 20 persen. Mestinya kondisi ini dikritisi wakil rakyat di ketiga daerah karena menandakan distibusi anggaran dari pusat maupun pajak serta retribusi justru banyak dialokasikan untuk program dan kegiatannya tidak mencerminkan kepekaan pada masyarakatnya. Lantas bila anggaran daerah tidak banyak ditujukan bagi kemakmuran rakyat, bagaimana pemerintah daerah mengentaskan kemiskinan yang merupakan mandat dari Millenium Development Goals? Seluruh elemen masyarakat harus merapatkan diri untuk mengkritisi dan mendorong agar kedepan anggaran daerah harus lebih banyak dialokasikan bagi kesejahteraan rakyat.

Kamis, 02 Desember 2010

Kelurahan : Meyusun Renstra atau RPJMD ?

|0 komentar
Dalam design otonomi daerah seluruh perangkat daerah dimasukkan dalam satuan kerja perangkat daerah atau saat ini banyak dikenal dengan sebutan SKPD. Seluruh dinas disebuah Kota atau Kabupaten di golongkan dalam SKPD, BLU maupun BLUD termasuk didalamnya adalah kecamatan dan kelurahan. Yang perlu dicermati adalah berbeda dengan dinas daerah maupun lembaga teknis lainnya yakni kecamatan dan kelurahan merupakan institusi daerah yang berkaitan dengan territorial. Dalam PP No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah pasal 1 ayat (9) diterjemahkan Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

Otomatis bila institusi masuk dalam SKPD maka sesuai rujukan peraturan lain harus membuat Renstra dan Renja SKPD. Tugas membuat Renstra tercantum pada pasal 7 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta pasal 151 ayat (1). Sementara turunan Renstra yakni Renja SKPD dimandatkan dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 ayat (3) dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 150 ayat (d).

Faktanya 6 tahun setelah kedua undang-undang itu diberlakukan, masih banyak kecamatan maupun kelurahan belum menyusun Renstra ataupun renja. Alasan yang dikemukakan berbagai daerah adalah, peleburan kecamatan dan kelurahan menjadi SKPD baru terjadi pasca keluarnya PP No 41 Tahun 2007. Memang hal ini bisa dimaklumi tetapi ditahun ini masih saja belum terealisasi. Kota Solo, merupakan salah satu kota yang cukup maju dalam penerjemahan regulasi nasional juga masih belum ada kecamatan dan kelurahan yang menyusunnya.

Saat ini beberapa civil society organization, dengan difasilitasi Tim Kerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) berusaha mengkolaborasi kebutuhan masyarakat terkait pengentasan kemiskinan dengan menyusun RPJM Kelurahan. Yang perlu dicermati yakni apakah pembuatan RPJMKel ini sesuai regulasi? Memang menjadi agak bias bila dibandingkan dengan UU No 72 Tahun 2005 tentang Desa. Bagi desa, mereka memang tak menyusun Renstra maupun Renja namun membuat RPJMDes dan RKPDes untuk merencanakan pembangunan.

Pemerintah pusat yang dalam hal ini menjadi kewenangan Kementrian Dalam Negri perlu meluruskan perbedaan persepsi. Sayangnya baik pihak yang menginisiasi RPJMKel maupun Renstrakel memiliki landasan yang kuat. Mereka yang terlibat dalam penyusunan RPJMKel menyatakan, kelurahan adalah perangkat daerah kewilayahan sehingga lebih tepat menggunakan RPJMKel dan menurunkannya dalam RKPKel. Sedangkan dalam regulasi memandatkan penyusunan Renstrakel dan Renjakel untuk menyusun perencanaan.

Program PNPM diberbagai daerah termasuk yang bekerja di Kota, mensyaratkan ada RPJM Pronangkis (Program Penanggulangan Kemiskinan). Bila demikian, lantas manakah yang harus dikerjakan? Ada format yang cukup berbeda antara RPJM dengan Renstra. Dalam RPJM dikaji tentang arah kebijakan keuangan, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum serta program kerja satuan-satuan pendukung dibawahnya. Sementara Renstra menjabarkan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan oleh institusi. Perlu penulis tekankan institusi karena memang isi renstra adalah jabaran hal-hal penting untuk konteks institusi. Beda dengan RPJM yang merupakan jabaran dari rencana implementasi kebijakan kepala daerah yang memang dipilih.

Artinya bila desa menyusun RPJM akan masuk akal sebab kepala desa dipilih oleh masyarakat. Nah apabila kelurahan, kepala kelurahan merupakan jabatan yang diberikan pada seseorang pegawai atas dasar kepercayaan serta merupakan tugas Seandainya hal ini dibiarkan maka tiap daerah akan menjalankan kebijakan bagi kelurahan bisa berbeda. Sudah kita ketahui bersama bahwa kelurahan itu ada di semua kabupaten kota dan tidak spesifik di kota saja. Masyarakat akan dibingungkan dengan format yang bisa saja berbeda antara wilayah satu dengan yang lainnya.