Rabu, 24 November 2010

Pentingnya Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik

|0 komentar
Salah satu contoh media keterbukaan informasi

Salah satu pondasi penting dalam era good governance yaitu keterbukaan informasi public. Selama era orde baru, informasi tentang pengelolaan pemerintah daerah tidak cukup banyak diketahui oleh masyarakat. Maka tuntutan atas birokrasi modern, yang efektif, efisien serta transparan tak bisa dielakkan lagi. Kenapa demikian? Seperti banyak diketahui bahwa salah satu fungsi birokrasi adalah sebagai public servant/pelayan public. Pelayanan public tersebut terkait dengan rumusan bahwa pemerintah menjalankan layanan atas ketertiban dan pemenuhan hak-hak dasar warga. Selain itu, pemerintah juga mengelola anggaran yang didapat dari pajak maupun retribusi yang disetor oleh masyarakat.

Atas kontribusi wargalah kemudian pemerintah dapat mengelola pemerintahannya. Pada pasal 28 F amandemen UUD 45 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada. Dengan mandate inilah kemudian muncul kebijakan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan waktu toleransi 2 tahun, pemerintah daerah diminta melaksanakan amanat undang-undang. Meski demikian, respon pemerintah daerah ditiap wilayah ternyata berbeda.

Pasca turunnya UU No 14 Tahun 2008 itu, lantas keluar berbagai peraturan untuk mengimplementasikan diantaranya PP No 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan UU No 14 Tahun 2008, Permendagri No 35 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan KIP serta Peraturan KI No 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publik. Adapun terminology informasi public dalam UU No 14 Tahun 2008 adalah Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa keterbukaan informasi memang telah menjadi sebuah kewajiban. Meski demikian, ada kategori informasi yang memang tidak harus dibuka dikarenakan alasan-alasan tertentu. Ada 5 alasan kenapa tidak semua informasi harus dibuka ke public yaitu pertama, Informasi yang dapat membahayakan negara. Misalnya saja informasi atau data tentang jumlah pesawat tempur serta kemampuan pilot yang dimiliki, peralatan perang dan berbagai informasi lainnya. Kedua, Informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat. Sebab hal ini dapat mengganggu iklim usaha. Ketiga, Informasi yang berkaitan dengan hak¬-hak pribadi yang tentunya tidak akan berlaku apabila berkaitan dengan tindakan pidana.Kemudian, Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau terakhir Informasi yang belum dikuasai atau didokumentasikan.

Masyarakat sangat berharap UU ini dapat diterima dan direspon positif oleh pemerintah daerah. Sebab akan banyak muncul dampak positif bagi perkembangan otonomi daerah dan memacu dinamisasi pembangunan. Beberapa catatan penting yang akan didapat oleh daerah dari sikapnya yaitu pertama, legitimasi pemerintah daerah menjadi kuat dan dukungan masyarakat menjadi lebih baik. Dampak yang akan diterima bisa berefek pada iklim investasi dan kondisi daerah yang kondusif. Kedua, kemampuan APBD menjadi lebih proporsional. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat meyakini pajak maupun retribusinya dikelola secara baik dan benar sehingga mereka tidak berkeberatan memenuhi kewajibannya. Ketiga, tingkat korupsi akan menurun drastis. Hal ini atas dasar konsekuensi transparansi informasi.

Lantas, dengan berbagai keuntungan yang akan diperoleh pemerintah daerah, akankah pemda masih akan menutup informasi? Masyarakat harus secara aktif mendorong dan meminta keterbukaan informasi terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Selama ini yang telah banyak diwacanakan adalah informasi tentang perencanaan maupun penganggaran. Kita berharap, adanya UU KIP No 14 Tahun 2008 akan semakin mendorong transparansi informasi yang memang berkaitan dengan kepentingan umum sehingga masyarakat tidak akan mengalami kendala dalam mengawasi pemerintah.

Rasio Kemandirian Daerah Yang Patut Dipertanyakan

|0 komentar
Pengelolaan keuangan daerah merupakan system pengelolaan keuangan yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Peningkatan kemakmuran rakyat tidak hanya pelayanan public namun juga tercakup didalamnya adalah membangun wilayah-wilayah Indonesia agar tidak ada ketimbangan dalam pemerataan. Namun yang jamak diketahui, pengelolaan keuangan di Indonesia memang masih butuh banyak dibenahi. Banyak pihak menyatakan system sudah cukup bagus guna mencegah kebocoran keuangan Negara namun tinggal bagaimana mendisiplinkan aparatur. Berbagai regulasi terkait keuangan Negara/daerah telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat namun masih saja gap antar daerah terlihat tinggi.

Pungutan pajak dan retribusi yang dilakukan pemerintah masih saja tidak cukup besar untuk mensejahterakan masyarakat. Bahkan semakin hari semakin besar saja pajak maupun retribusi yang dipungut namun disisi lain tetap saja belum bisa memenuhi kewajiban pemerintah dalam mencukupi hak dasar warga. Di sector pendapatan, bila kita lihat banyak daerah menggantungkan pendapatannya justru dari Negara. Tingkat kemandirian anggaran sangat minim meski otonomi telah diberlakukan. Ada beberapa factor yang mempengaruhi pendapatan daerah belum memberi kontribusi cukup signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.

Faktor yang bisa kita kupas misalnya banyak pungutan ditingkat lokal masih disentralisasi baik dipusat maupun propinsi. Contohnya pungutan Surat Tanda Nomor Kendaraan, Pajak Bumi Bangunan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan masih banyak sekali. Sementara daerah hanya memiliki kewenangan menarik uang receh saja (sebut misalnya parkir, retribusi sampah, retribusi pemakaman dan lainnya) yang besarannya rata-rata dibawah Rp 1juta pertahun. Faktor akuntabilitas penerimaan retribusi juga ikut berpengaruh didalamnya. Siapa yang bisa tahu berapa pendapatan dari retribusi terminal pertahunnya, berapa pemasukan dari pajak makanan dan minuman atau berapa pendapatan dari sector hiburan?

Mari kita lihat potret pendapatan daerah di eks Karesidenan Surakarta dan berapa prosentasenya menyumbang Pendapatan Asli Daerah di Tahun 2010 (Lihat Tabel).

Tabel 1
Pendapatan Kabupaten/Kota Se Eks Karesidenan Surakarta
Tahun 2010

Daerah                          PAD                     Dana Perimbangan          Lain2 Pdapatn yg Sah      Total Pdptn
Prov. Jawa Tengah      3,729,062                     1,757,664                          24,590                   5,511,315
Kab. Boyolali                   80,020                        682,045                        150,250                      912,315
Kab. Karanganyar            73,977                        610,311                          66,111                      750,399
Kab. Klaten                      71,371                        843,372                       110,774                   1,025,517
Kab. Sragen                     69,398                         649,984                         69,123                     788,505
Kab. Sukoharjo                60,298                         620,295                         53,168                     733,760
Kab. Wonogiri                  64,818                         729,751                         84,733                     879,303
Kota Surakarta                120,183                        531,857                       176,594                     828,635
Sumber : Kemenkeu.go.id

Secara keseluruhan, pendapatan daerah terbesar diperoleh Kabupaten Klaten yang mencapai Rp 1 trilyun lebih, disusul Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Wonogiri. Sedangkan daerah dengan pendapatan paling kecil adalah Sukoharjo yang “hanya” berkisar Rp 750 M. Namun tingginya pendapatan ini tidak selalu parallel dengan kemampuan daerah menarik pendapatan dari masyarakat. Tingginya pendapatan bisa dipengaruhi factor banyaknya jumlah pegawai, sumber daya alam yang tersedia atau memang tingkat akuntabilitas pendapatannya memang patut diacungi jempol.

Kota Surakarta yang Tahun 2010 ini masuk urutan ke 3 dalam pemberantasan korupsi versi Transparansi Internasional Indonesia justru hanya mampu mengumpulkan pendapatan sebesar Rp 828 M atau di posisi tengah-tengah disbanding daerah lainnya. Namun yang terlihat mencolok dari Solo adalah Pendapatan Asli Daerahnya mencapai Rp 120 M atau 14,5 persen dari Pendapatan Daerah. Kemampuan 14,5 persen merupakan rasio kemampuan daerah dalam kemandirian pendapatan (lihat table 2). Klaten yang dari nominal memiliki pendapatan daerah tertinggi namun prosentase PAD terhadap total pendapatan daerahnya justru paling parah, tidak mencapai 7 persen. Daerah dengan PAD tinggi dapat dimaknai 2 hal yakni pertama, mampu melakukan pemetaan sector pendapatan daerah potensial serta kedua, intensifikasi pendapatan yang bisa disebut berhasil.

Tabel 2
Prosentase 3 Pendapatan Terhadap Total Pendapatan Daerah
Tahun 2010

Daerah                         % PAD thd Pdptn       % P'imbngn thd Pdptn   % Pdptn Lain yg sah thd Pdptn           Prov. Jawa Tengah                67.66                               31.89                                    0.45
Kab. Boyolali                          8.77                               74.76                                  16.47
Kab. Karanganyar                   9.86                               81.33                                    8.81
Kab. Klaten                            6.96                               82.24                                   10.80
Kab. Sragen                           8.80                                82.43                                    8.77
Kab. Sukoharjo                      8.22                                84.54                                    7.25
Kab. Wonogiri                       7.37                                 82.99                                    9.64
Kota Surakarta                    14.50                                 64.18                                   21.31
Ket : Data diolah

Pendapatan Dana Perimbangan terbesar tentu dapat diprediksi yakni Kabupaten Klaten. Sebab total pendapatan daerahnya paling tinggi diantara 6 kabupaten/kota lain. Ini mengindikasikan jumlah pegawai kabupaten ini cukup besar. Sebab dana perimbangan memang lebih banyak digunakan untuk pembayaran gaji pegawai. Komponen Dana Alokasi umumnya bisa dipastikan mendominasi dana perimbangan. Solo, hanya mendapat Rp 500 M saja atau selisih lebih dari Rp 300an milyar. Potret prosentase dana perimbangan terhadap total pendapatan otomatis paling minim meski prosentasenya masih hampir 65 persen. Selisih dengan daerah lain mencapai 10 persen atas total pendapatan daerahnya.

Untuk pendapatan lain-lain yang sah, secara nominal Kota Solo tercatat menyumbang nominal lebih dari Rp 170 milyar, diikuti Kabupaten Boyolali yang memberi pemasukan bagi daerahnya Rp 150 milyar. Sementara nominal paling minim tercatat ada di Sukoharjo yang berkisar Rp 53 milyar saja atau selisih dengan Kota Solo mencapai lebih dari Rp 100 milyar. Pemerintah daerah harus segera menemukan formula supaya tingkat ketergantungan anggaran dari pusat semakin berkurang. Memang ada beberapa pendapatan daerah yang ditarik ke pusat dan itu masuk kategori pendapatan yang potensial. Sembari terus berjuang mendapatkan kembali hak daerah, seharusnya daerah terus berkreasi dan berinovasi mengembangkan potensi daerah agar mendapat kontribusi yang signifikan.

Senin, 08 November 2010

Penerapan Anggaran Pendidikan 20 Persen

|0 komentar
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia agar kehidupannya jauh lebih baik. Tidak hanya para orang tua tetapi juga Negara dan agama mengajarkan pentingnya menempuh pendidikan. Namun kenyataannya tak semua orang secara mudah mengakses pendidikan di Indonesia. Masih banyak masyarakat diperkotaan maupun pedesaan kesulitan mengakses pendidikan. Hal ini dikarenakan keterbukaan akses, jaminan serta kemauan penggerak pendidikan bahkan Negara tak kunjung serius membenahi pendidikan di Indonesia. Sudah banyak peraturan ataupun pemahaman bahwasanya pendidikan merupakan hal prinsip yang harus didapat semua orang. Dalam Amandemen UUD 45 disebutkan salah satu hak warga Negara yakni pendidikan.

Faktanya diberbagai pelosok daerah kita masih menemukan banyak anak usia sekolah yang mengamen, menyemir sepatu atau meminta-minta. Mereka tak lagi sanggup bersekolah. Problem masyarakat miskin di perkotaan dengan masyarakat di pedesaan untuk mengakses pendidikan itu tak sama. Di perkotaan yang rata-rata sekolah negeri sudah banyak bebas biaya, mengutip dana tambahan dengan nama sumbangan. Tak pelak mereka yang harusnya bisa menikmati bangku sekolah menjadi terpental. Sementara di pedesaan yang jauh dari pantauan, masih saja dipungut biaya wajib yang meskipun besarnya tak seberapa tetapi tetap saja memberatkan. Lantas, kalau mau dilihat secara jeli kemanakah anggaran pendidikan yang besarnya 20 persen dari APBN pertahun itu?

Kalau semua pihak merasa peduli dengan pendidikan dan mengawasi setiap sen alokasi pendidikan, kenapa masih saja biaya pendidikan itu memberatkan? Seringkali para pemangku kepentingan pendidikan berargumentasi bahwa besarnya biaya untuk membenahi gedung sekolah, membangun sekolah di pedalaman, menambah fasilitas dan banyak lagi alasan yang lainnya. Kemanakah anggaran pendidikan sebelumnya? Toh pada tahun-tahun belum diberlakukannya anggaran pendidikan 20 persen, dengan partisipasi masyarakat, warga mampu menyekolahkan anaknya. Perbaikan prasarana sekolah justru dijadikan alasan menambah beban bagi orang tua peserta didik.

Dalam Renstra Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014, alokasi anggaran pendidikan untuk Kementrian Pendidikan Nasional besar sekali. Anggaran tersebut dipilah menjadi 2 yakni yang dikelola Kemdiknas serta untuk transfer daerah (Lihat Tabel). Formasi anggaran yang besar justru dialokasikan ke daerah. Tetapi jumlah yang paling menyita tentu saja untuk DAU Pendidikan alias gaji-gaji guru. Disitu tertulis anggaran tahun 2010 mencapai Rp 55 Trilyun yang dalam APBN-P menjadi Rp 62,5 T. Kemudian meningkat menjadi Rp 65 T pada tahun 2011. Kenaikan 13 persen didapat pada tahun 2012 yang menjadi Rp 75 T. Sayangnya kenaikan yang besar ini banyak dialokasikan untuk tunjangan profesi dan kegiatan prioritas Renstra Kemdiknas lainnya. Sedangkan alokasi BOS dialokasikan tidak bergeser dari angka Rp 17 trilyun.

Anggaran Pendidikan 2010 - 2014

Semestinya, dengan alokasi anggaran yang besar tersebut masyarakat dapat diringankan untuk mengenyam pendidikan setidaknya pendidikan dasar 9 tahun. Faktanya masih banyak kejadian dan anak usia sekolah tak mudah mendapatkan hal tersebut. Harus ada terobosan yang luar biasa dari berbagai pihak yang mendesak baik Diknas Daerah maupun Kemdiknas untuk mengimplementasikan anggaran yang mampu menjamin keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak. Pemerintah pusat sebaiknya juga mengurangi peran di sector implementasi dan hanya bekerja pada tataran kebijakan serta pengawasan terhadap anggaran daerah. Sehingga anggaran akan lebih banyak dialokasikan ke daerah dan tidak melulu untuk gaji para guru. Bukan menganggap bahwa gaji guru tak penting. Faktanya setelah ada sertifikasi, tak adan peningkatan cukup signifikan bagi keluaran pendidikan di Indonesia.