Minggu, 30 Mei 2010

KAPAN PERDEBATAN TENTANG PENDIDIKAN DASAR USAI?

|0 komentar
Mendiskusikan pendidikan di Indonesia tak pernah surut dari media baik isu mengenai kontroversi Ujian Nasional, sertifikasi guru hingga kondisi bangunan gedung-gedung sekolah diberbagai penjuru tanah air. Kondisi pendidikan di daerah (terutama pedalaman dan terpencil) belum termasuk untuk daerah yang terkena bencana alam sangat memprihatinkan. Gedung hampir roboh, ruang kelas rusak, kursi dan meja reyot belum lagi peserta didik yang terkena kebijakan UN sampai bunuh diri gara-gara tak lulus. Padahal dalam amandemen ke 3 UUD menegaskan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen baik dalam APBN maupun APBD. Kenyataannya hanya beberapa daerah tertentu yang mampu menggratiskan biaya pendidikan dasar 9 tahun (meskipun sekolah negeri saja). Artinya perlindungan warga negara untuk mendapatkan hak dasarnya tidak secara otomatis.

Bila dilihat dalam misi Kementrian Pendidikan Nasional (dulu departemen pendidikan nasional) Tahun 2010-2014 memfokuskan pada 5 hal yakni Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas/Mutu dan Relevansi, Kesetaraan serta Kepastian. Kelima K tersebut diharapkan mampu memecah jalan pada peningkatan layanan pendidikan berbagai jenjang yang ada. Sementara itu strategi yang akan dilakukan meliputi 11 strategi di berbagai level jenjang pendidikan, penguatan pendidik maupun aspek tata kelola pelayanan pendidikan. Hanya saja untuk pendidikan dasar termaknai pada 4 arah kebijakan (dari 15 arah kebijakan) yakni a) Akselerasi pembangunan pendidikan di daerah perbatasan, tertinggal dan bencana; b) Rasionalisasi pendanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat; c) Penyediaan buku teks murah; d) Pemberdayaan kepala sekolah dan pengawas sekolah serta sertifikasi dan kualifikasi guru.

Pemerintah melalui berbagai regulasi telah menerapkan kebijakan pendidikan gratis untuk pendidikan dasar wajib belajar 9 tahun. Setidaknya dalam PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 62 disebutkan bahwa (1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal;  (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap; (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Dengan landasan ini mestinya skema pendidikan dapat dialokasikan secara jelas, mana yang ditanggung oleh pusat, propinsi, daerah ataupun bagi siswa sendiri.

Mengenai pembiayaan tentu saja mengikuti regulasi PP No 38 Tahun 2007 Tentang pembagian urusan pemerintah pusat dengan daerah yang dapat dimaknai dengan pembagian kewenangan. “Pemerintah pusat bertanggungjawab atas penyediaan pendanaan semua level pendidikan dan program, serta penyediaan sumberdaya untuk tingkat pendidikan tinggi dan subsidi silang (pendidikan usia dini, sekolah dasar dan menengah, dan pendidikan non-formal). Sementara tanggung jawab utama pemerintah propinsi termasuk pendanaan tingkat menengah dan pendidikan vocational, serta pendidikan khusus. Propinsi juga bisa menyediakan tambahan sumberdaya atau subsidi untuk PAUD, pendidikan dasar dan non-formal, serta pendidikan tinggi. Akhirnya pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab atas penyediaan sumberdaya untuk PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan non-formal” (Pendidikan Gratis Bermutu, pattiro 2010).

Pada PP 48 Tahun 2008 Tentang Pembiayaan Pendidikan pasal 2 ayat (1) menyebutkan pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Sedangkan pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa biaya pendidikan meliputi 3 hal yakni biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan serta biaya pribadi peserta didik. Pasal-pasal selanjutnya juga menjelaskan beberapa komponen biaya dari setiap turunan biaya pendidikan tersebut. Meski demikian, setiap turunan biaya pendidikan yang dimaksud (bahkan termasuk biaya investasi) dapat bersumber dari masyarakat. Hal ini memungkinkan peluang adanya tarikan atau pungutan dari penyelenggara pendidikan pada peserta didik.

Dengan kondisi itu, maka tak heran diberbagai pelosok tanah air cerita tentang sulitnya atau bahkan mahalnya pendidikan di Indonesia masih terdengar. Berbagai kampanye presiden mengenai pendidikan gratis pada media elektronik maupun cetak tak mampu diterjemahkan oleh bawahannya maupun pengelola satuan pendidikan untuk benar-benar menghilangkan pungutan. Tiap daerah tentu memiliki pertimbangan tersendiri untuk membiayai pendidikan dasarnya. Ada banyak faktor yang melingkupi tinggi maupun rendahnya biaya pendidikan. Misalnya saja di Kabupaten Jembrana, setiap siswa SD setiap tahun hanya membutuhkan Rp 90.000. Sedangkan di Kota Jogjakarta setiap siswa SD setahun membutuhkan anggaran Rp 250.000. Padahal, BOS dari Kementrian Pendidikan Nasional mengalokasikan antara Rp 397.000 (untuk kabupaten) hingga Rp 400.000 (untuk kota).

Data diatas merupakan salah satu contoh kasus untuk alokasi  SPP tiap wilayah berbeda dan pemerintah menetapkan anggaran yang sebenarnya jauh lebih tinggi. Anggaran itu belum termasuk BOS dari propinsi maupun dari daerah. Belum lagi beberapa program lain seperti beasiswa, BOS Buku, alokasi DAK dan beragam program lainnya. Dengan demikian maka setidaknya dalam pembuatan kebijakan pendidikan dasar pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan nasional harus jeli mendefinisikan secara jelas kebutuhan bagi pemenuhan pendidikan dasar 9 tahun. Kejelian juga termasuk memetakan kebutuhan riil serta spesifikasi keunggulan-keunggulan lokal. Maka dari itu setidaknya ada 5 kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah :


1.    Kebijakan bidang pendidikan yang lebih jelas. Masih banyak kebijakan pendidikan yang berbenturan satu dengan lainnya. Misalnya mengenai dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi, polemik ujian nasional, sekolah berstandar internasional dan lainnya. Dengan adanya PP 37 Tahun 2007 seharusnya memetakan secara jelas apa kewenangan tiap jenjang pemerintahan. Sehingga tidak ada lagi kebijakan yang bersifat ganda atau berbenturan

2.    Pemberian kewenangan disertai dengan anggaran yang sesuai. Hingga sekarang masih banyak daerah yang kesulitan membangun sekolah-sekolah dipedalaman. Perbedaan kondisi fisik sekolah antara perkotaan dengan pedesaan jelas terlihat timpang. Pemerintah pusat sendiri masih menyalurkan bea siswa, bantuan sosial, membangun gedung sekolah dan banyak kegiatan teknis hingga lingkup satuan pendidikan. Apakah tidak lebih baik pemerintah (Kementrian Pendidikan Nasional) lebih memfokuskan pada perumusan formulasi kebijakan secara nasional serta melakukan pengawasan atas kebijakan pendidikan daerah.  Kewenangan yang diberikan pada daerah tidak diimbangi dengan anggaran yang memadai sehingga daerah kesulitan mengejar gap ketimpangan tersebut.

3.    Formulasi anggaran ke daerah (DAU, DAK, BOS dan sebagainya) sebaiknya juga memperhatikan kondisi wilayah. Penetapan standar yang sama sangat tidak mencerminkan keadilan. Mestinya pemerintah menerapkan asas proporsionalitas. Minimal ada 3 indikator yang mempengaruhi ukuran pemberian bantuan. Ketiga indikator tersebut adalah kondisi geografis, PDRB serta inflasi. Dengan memperhatikan hal tersebut setidaknya akan membantu daerah-daerah yang masih minus dengan daerah berkemampuan sedang atau bahkan tinggi dalam APBDnya.

4.    Merangsang inovasi dan terobosan yang dilakukan oleh kepala daerah. Apabila ada kebijakan kepala daerah yang memang rasional serta meningkatkan kualitas pendidikan dan membantu masyarakat, harusnya terobosan ini di apresiasi. Sehingga mampu mendorong daerah-daerah lain untuk mereplikasi kebijakan yang menguntungkan masyarakat. Idealnya pengelolaan pendidikan di Kabupaten Jembrana mampu mendorong tumbuhnya pendidikan yang murah bagi masyarakat. Nyatanya meski banyak yang telah melakukan kunjungan ke Jembrana, toh masih banyak daerah yang kondisinya tetap sama saja.

5.    Memberikan reward dan punishment pada daerah yang melakukan terobosan bagus atau membiarkan kondisi pendidikan daerahnya merosot. Berbagai insentif dapat diberikan pemerintah pusat melalui skema insentif tambahan DAK, Beasiswa, BOS dan berbagai program lainnya. Hal ini diharapkan mampu mendorong pemerintah daerah menjalankan pola pendidikan yang lebih menguntungkan masyarakat secara luas.