Kamis, 18 Maret 2010

POLEMIK PEMBANGUNAN PASAR PAGI METRO SAMARINDA

|0 komentar
Sudah sejak setahun terakhir ini, Kota Samarinda Kalimantan Timur diributkan oleh proses rencana Pemerintah Kota membangun pasar tradisional ditengah kota. Polemik muncul awalnya karena pembangunan Pasar Pagi Metro/PPM terkesan mendadak dan tidak disertai dengan tahapan seperti feasibility studi maupun proses usulan dari bawah. Pemerintah propinsi mengaku keberatan dengan proyek tersebut karena pembangunan PPM tidak memecahkan persoalan substansial terkait kebutuhan masyarakat. Selain itu, masyarakat secara umum juga banyak yang menolak kebijakan ini. Lantas, apa saja kajian yang bisa saya kemukakan atas persoalan tersebut? Paling tidak ada 8 hal yang perlu dijadikan dasar mengkaji hal tersebut yakni :

1. Tata kota
Penataan sebuah kota tidak dapat dibangun secara serampangan. Artinya kalau proyek pasar pagi akan dijalankan, pemerintah kota harus membuka dokumen apakah lokasi pembangunan pasar pagi metro memang diperuntukkan bagi perdagangan umum, perkantoran atau hunian. Penting untuk diketahui bahwa hingga sekarang review Perda RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) Pemprov Kaltim saja masih dalam proses. belum mendapat pengesahan dari pemerintah pusat. Otomatis Perda RUTRK dibawahnya masih terjadi kekosongan hukum dan harus menunggu Perda tingkat provinsi untuk dilakukan penyesuaian. Maka dari itu, berbagai kebijakan yang menyangkut mengenai tata kota harus menunggu kepastian.

2.    Jalur Hijau
Beberapa orang (seperti di kutip media lokal) menyatakan bahwa tempat tersebut merupakan jalur hijau. Selain itu pelabuhan peti kemas lokasinya sangat berdekatan dengan PPM. Tentunya selain berkurangnya lahan terbuka hijau (berdasar UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang menyebutkan RTH /Ruang terbuka hijau) harus 30 persen. Nah bila wilayah tersebut dibangun maka otomatis akan mengurangi RTH. Apakah selama ini Samarinda telah memenuhi hal tersebut? Sebab banyak kawasan justru dikuasai oleh Kuasa Pertambangan. Belum lagi ketika jarak dengan pelabuhan peti kemas terlalu dekat, tidak bisa dibayangkan betapa crowdednya lalu lintas disana. Jalan Gajah Mada sendiri merupakan salah satu jalur padat dan pendirian pasar bisa memperparah kondisi lalu lintas. Pembangunan PPM justru berdampak signifikan tidak hanya pada arus lalu lintas semata namun berimplikasi pada distribusi bahan dari terminal peti kemas yang bisa saja terganggu.

3.    Batas Sempadan sungai
Proyek ini akan didirikan tepat di pinggiran Mahakam yang juga merupakan jalur padat lalu lintas kapal-kapal pengangkut batu bara, bahan makanan ke pedalaman serta kapal angkutan umum maupun arus mobilitas masyarakat tepian sungai. Dibutuhkan kajian mendalam meliputi lokasi, lalu lintas sungai serta lahan sempadan sungai. Aturan sempadan sungai juga ada batasnya. PPM didirikan betul-betul berada di tepian mahakam dan ini melanggar. Selain itu sangat berbahaya bagi bangunan dan masyarakat yang melakukan transaksi ditempat tersebut. Belum lagi ditambah dengan berton-ton peti kemas.Selain itu apakah status disitu bisa didirikan pasar? Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 63 Tahun 1993 Pasal 6 ayat (1)b disebutkan bahwa Garis sempadan sungai bertanggul dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter disebelah luar sepanjang kaki tanggul. Artinya proyek PPM perlu dilihat kembali apakah sudah sesuai dengan Permen Pekerjaan Umum ini atau tidak.

4.    Perijinan
Masalah perijinan yang dinyatakan belum tuntas menjadi pertanyaan kita semua. Kenapa ijin belum tuntas tapi investor sudah mulai membangun? Mestinya Satpol bisa menghentikan kegiatan tersebut sebab memang tugas mereka penegakan Perda.. Selain ijin HO tetapi juga apakah PPM tidak melanggar Perda lainnya? Gubernur sendiri menyatakan bahwa jalan Gajahmada berstatus jalan propinsi sehingga perijinan maupun kajian layaknya dilakukan oleh pemerintah propinsi. Proyek senilai Rp 15 miliar itu dikerjakan oleh PT Surya Rizki Reza Jaya Abadi yang belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) serta studi kelayakan tentang analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) (Kaltimpost 28 maret 2009).

5.    Proses perencanaan
Banyaknya statement tentang meminta agar PPM ditunda membuktikan bahwa aspek perencanaan tidak matang. Satu institusi saja (DPRD) pendapatnya bisa berbeda. bagaimana mungkin ini terjadi? Harusnya DPRD bisa satu suara karena lembaga itulah yang memang melakukan inventarisasi dan klarifikasi kebutuhan masyarakat. Kalau benar masih belum clear siapa yang memberikan ijin maka patut dipertanyakan ada apa dengan proyek PPM? Kan usulan pembangunan itu dibahas di Musrenbang maupun di RAPBD di komisi-komisi DPRD. Bila mereka (dewan) tidak satu suara, lantas APBD 2009 yang disahkan apakah pembangunan PPM disetujui atau tidak. Sebenarnya melacak dokumen ini tidak begitu sulit apalagi dengan nominal yang cukup besar. Tinggal ada kemauan atau tidak untuk membuka secara jelas siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam proyek ini.

6.    Penertiban PKL
Cara melakukan penertiban PKL juga tidak bisa dengan sporadis serta reaksioner. Harus dikaji mendalam dan dipikir secara matang merelokasi PKL. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dan bukan seperti membalik telapak tangan. Apakah PPM itu juga nantinya bakal diperuntukkan bagi pedagang pasar tradisional? Berasal darimanakah mereka? Jangan-jangan ruang-ruang yang dijual nantinya justru dimiliki oleh pedagang-pedagang bermodal besar. Bukan masyarakat kelas bawah yang digusur dari lokasi semula. Biasanya pendataan dan bujuk rayu dilakukan di awal proses. Mereka sering dijanjikan akan mendapat prioritas namun pasti diminta menyetor dana atau membayar diluar kemampuan mereka. Padahal pembangunan itu disediakan oleh dana APBD yang juga merupakan hasil pajak serta retribusi rakyat.

7.    Investor
Lantas, kenapa tiba-tiba investor bisa membangun? Bukankah mestinya harus ada kesepakatan harga, kontrak, jangka waktu dan model pembayarannya seperti apa. Kami berpikir dengan proyek PPM ini yan nominalnya sangat besar harus melalui lelang. Tidak bisa asal tunjuk karena bisa dikenakan klausul pelanggaran Keppres 80 Tahun 2003. Proses abu-abu ini dilain waktu bisa jadi masalah seperti kasus-kasus sebelumnya. Apalagi sebentar lagi ada pemilihan walikota. Kenapa bisa begini? Wajar bila masyarakat menduga ada sesuatu. Penting ditelisik antara DPRD, pemerintah kota maupun investor PT Surya Rizki Reza Jaya Abadi. Adakah hubungan dengan para kandidat yang akan berkompetisi dalam Pilwalkot.

8.    Ijin Komisi II
Jika memang benar komisi II sudah mengijinkan bersama ketua dewan, tidak otomatis bisa begitu saja pryek berjalan. Sebab harus dianggarkan di APBD. Baru setelah disahkan akan dilakukan pelelangan. Proses ini membutuhkan waktu cukup panjang sehingga masyarakat umum juga mengerti dan memahami. Dewan harus mendengarkan argumentasi dari masyarakat sebagai pemangku kepentingan atas PPM tidak hanya sebagai konsumen pasar tetapi juga pengguna jalan. Yang patut dilihat adalah polemic ini muncul pada awal tahun 2009 dan awal 2010 baru dibangun. Lantas sebenarnya pembangunan PPM itu masuk APBD 2009 atau 2010?

Idealnya memang pemerintah kota melempar terlebih dahulu wacana tentang PPM supaya menjadi legitimate. Mungkin itu beberapa argumentasi saya. Masih banyak hal yang sebenarnya bisa didiskusikan secara bersama-sama sebab yang terkait dengan proyek PPM itu tidak hanya investor, pedagang, pembeli namun juga pemilik taksi, sopir taksi, pengguna jalan disitu dan masih banyak yang lainnya.

Berdasarkan perda RTRW/RUTRK Propinsi saja masih di evaluasi oleh Pemerintah Pusat sehingga otomatis Perda RTRW/RUTRK Kota/Kabupaten belum bisa dilakukan evaluasi. Artinya keputusan-keputusan penting tentang penataan ruang di Samarinda harus menunggu regulasi atau evaluasi atas Perda RTRW/RUTRK disahkan. Sayangnya tidak mudah mendapatkan Perda tersebut. Namun berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang Pasal 60 dijelaskan bahwa :
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a.    mengetahui rencana tata ruang;
b.    menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c.    memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d.    mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e.    mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f.    mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Bila begitu, apakah proyek Pasar Pagi Metro Samarinda masih layak dilanjutkan? Penting dipikirkan ulang oleh Pemkot Samarinda.

Jumat, 05 Maret 2010

TANTANGAN PENATAAN ASET DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH

|1 komentar
Sudah 10 tahun terakhir ini sering kali kita dengar mengenai pengusiran paksa veteran TNI dari rumah dinas yang masih mereka tempati. Sebenarnya tidak hanya para pensiunan TNI Polri saja yang menghadapi semacam ini. Banyak departemen maupun pemerintah daerah memaksa para pensiunan mereka meninggalkan tempat tinggal mereka yang sudah puluhan tahun mereka huni. Masalahnya sederhana, rumah tinggal itu akan ditempati oleh prajurit atau pegawai lainnya. Lantas apakah selama ini mereka para pensiunan tidak bisa membeli rumah sendiri? Apakah gaji cukup untuk mencicil rumah?

Perdebatan mengenai cukup tidaknya gaji PNS (termasuk TNI Polri) adalah perdebatan using yang sejak dari dulu tidak pernah usai. Lantas, siapakah sebenarnya yang seharusnya menyediakan rumah dinas para pegawai Negara? Lantas bila rumah dinas disediakan dan di beli oleh uang Negara, apakah kemudian bisa beralih kepemilikan begitu saja? Seperti yang banyak terjadi di pemerintah daerah mengenai pelelangan kendaraan dinas. Sudah jadi pemahaman umum, kendaraan dinas yang dijual itu yang lebih berwenang membeli adalah pemilik terakhir. Jarang ada pengumuman di media massa berkaitan dengan lelang kendaraan dinas.

Maka dari itu perlu terobosan dan inovasi dalam pengelolaan asset daerah. Tidak hanya menyangkut pembelian namun juga pemeliharaan, pendayagunaan dan penjualan asset. Aset daerah itu bisa berupa barang bergerak dan tidak bergerak. Selama ini masyarakat awam juga tidak cukup tahu sebenarnya berapa asset daerah yang dimiliki pemda setempat dan bagaimana dengan pengelolaannya. Sebenarnya transparansi penggunaan asset daerah itu penting untuk menilai agar apakah asset tersebut dimanfaatkan secara optimal atau tidak.

Aset daerah merupakan kekayaan penting bagi sebuah wilayah namun seperti yang banyak diketahui banyak asset yang tidak masuk dalam database daerah. Ini membuka peluang penyelewengan atas asset tersebut. Ada banyak daerah lebih hobi mengadakan pengadaan saja namun perawatannya tidak mau dipedulikan. Di Propinsi Kalimantan Timur misalnya, terdapat 1.178 kendaraan roda empat dan 976 unit kendaraan roda dua. Meski demikian data atas kendaraan tersebut tidak terdata dengan baik. Ini merupakan salah satu contoh pengelolaan asset yang tidak bagus.

Tidak sedikit juga saat ini wacana untuk pengadaan asset bergerak dihapuskan dan diganti dengan sewa. Alasannya karena bila di kalkulasi lebih irit dibandingkan dengan pembelian mobil dinas. Selain hemat pada aspek maintenance namun juga pemda tidak memikirkan purna jual. Meski demikian nampaknya pemerintah pusat juga belum memberi signal apakah hal ini bisa dilakukan atau tidak.

Banyak masyarakat yang tidak tahu asset milik daerah sehingga kadang ada kasus tugar guling yang menyeret kepala daerah ke pengadilan. Aset daerah ini berupa barang bergerak maupun tidak bergerak. Selayaknya pemanfaatan asset daerah juga harus diketahui oleh public. Pemanfaatan asset daerah juga pasti seijin legislative maka dari itu, DPRD perlu juga mempublikasikan barang-barang milik daerah yang ‘dimanfaatkan’. Pola penawaran pemanfaatan barang daerah juga dilakukan secara terbuka sebab untuk menghindari adanya ‘permainan’ antara pengguna dan pemilik asset.

Aset daerah harus dimaknai sebagai barang milik Negara yang setiap penggunaannya harus menimbulkan atau mampu memberi nilai tambah. Nilai tambah disini tidak sekedar berupa pemasukan tetapi lebih pada kemanfaatan dalam jangka panjang. Yang perlu dimaknai, pemerintah daerah tidak bisa memanfaatkan asset berupa barang bergerak sebab barang bergerak dibeli untuk digunakan mendukung operasional birokrasi. Beda dengan barang tak bergerak seperti gedung, tanah, jalan dan lain sebagainya.

Banyak asset daerah yang berpindah tangan dengan tanpa melalui proses semestinya. Yang banyak terjadi di Indonesia adalah pengalihan asset daerah yang berupa barang bergerak seperti motor, mobil, dan berbagai barang bergerak lainnya. Yang sudah menjadi rahasia umum, pengalihan itu tanpa proses transparan sehingga harga atas pengalihan itu sangat jauh dibawah standar

Harus ada rumusan yang jelas bagaimana proses pengalihan asset bisa dilakukan secara transparan dan bisa diumumkan. Demikian juga dengan pengalihan ataupun tukar guling asset daerah hampir sama dengan penjualan asset. Jarang dilakukan dengan terbuka sehingga kadang nilai pertukaran atau pengalihan asset tidak seimbang. Harus ada rumusan yang jelas bagaimana proses pengalihan asset bisa dilakukan secara transparan dan bisa diumumkan