Kamis, 28 Januari 2010

Mewujudkan Jardiknas Sebagai Supporting Peningkatan Kualitas Pendidikan Di Indonesia

|0 komentar
Oleh Muhammad Histiraludin

Jejaring pendidikan nasional merupakan upaya dari pemerintah terutama Departemen Pendidikan Nasional yang diharapkan dapat mempercepat pengembangan integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi pada program pemerintah sektor pendidikan untuk kemajuan Pendidikan Indonesia saat ini dan di masa depan. Pada sisi lain, upaya peningkatan kualitas pendidikan dijabarkan dalam 8 Standar Pendidikan Nasional seperti yang diatur oleh Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 35 dan kemudian dipertegas dalam PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Konsekuensi atas penetapan PP tersebut, semua penyelenggaraan harus memenuhi (1) standar kompetensi lulusan, (2) standar isi, (3) standar proses, (4) standar sarana dan prasarana, (5) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (6) standar manajemen, (7) standar pembiayaan serta (8) standar penilaian.

Untuk menunjang standar sarana dan prasarana, Depdiknas menyelenggarakan Jardiknas untuk seluruh Indonesia. Penyelenggaraan Jardiknas tidak hanya digunakan mensupport guru dan peserta didik terutama dalam hal ketersediaan bahan namun juga sekaligus dimaksudkan untuk membantu peningkatan standar manajemen sekolah. Yang jamak diketahui sejak penetapan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen kenyataannya belum mampu meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Oleh karena itu Jardiknas dilihat dari aspek maksud dan tujuannya patut diapresiasi dan didukung supaya mampu menghasilkan anak didik yang tangguh dan mampu bersaing dalam era globalisasi.

Yang dipercaya untuk pengelolaan Jardiknas yakni Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) Depdiknas sejak Tahun 2007 setelah sebelumnya dikelola oleh tiap direktorat di Departemen Pendidikan. Untuk perangkat utama Jardiknas ini, Pustekkom menyediakan atau menyewa bandwith dari provider-provider besar di Indonesia untuk dialokasikan ke daerah atau sekolah-sekolah. Dalam pelaksanaannya, jejaring ini dibagi menjadi 4 (empat) zona jaringan, yaitu: Zona Kantor Dinas Pendidikan, Zona Perguruan Tinggi (INHERENT), Zona Sekolah dan Zona Personal. Pembagian zona didasarkan pada kondisi geografis, ketersediaan teknologi, skala kebutuhan, fungsi dan manfaat program Jardiknas untuk setiap institusi dan komunitas pendidikan.

Fitur-fitur yang disediakan terbagi dalam 2 besaran yaitu e-pembelajaran dan e-administrasi yang diharapkan mampu membantu siswa maupun sekolah. Di e-pembelajaran tersedia buku sekolah elektronik atau buku pelajaran yang bisa diunduh oleh siapapun secara gratis karena pemerintah telah membeli hak ciptanya ratusan juta rupiah tiap judul. Di e-administrasi juga dimaksudkan agar terjadi peningkatan kapasitas menejemen sekolah. Anggaran selama 3 tahun terakhir yang dianggarkan sangat besar.

No    Kegiatan                                                Anggaran
                                          2007                         2008                          2009
1    E Administrasi    258.463.016.000       233.255.346.000       263.755.346.000
2    E-Learning         155.075.865.000       285.800.000.000       360.000.000.000
3    Sarana               336.196.375.000    1.547.436.500.000    1.901.000.000.000
    Jumlah                 749.735.616.000    2.066.491.846.000    2.524.755.346.000
Sumber : Laporan hasil kerja Panja TIK Komisi X DPR RI dan Tim TIK Depdiknas 2007

Penerima Manfaat

Bila dilihat dari sisi anggaran, terlihat budget yang bisa dikatakan besar meski di tahun 2010 dana alokasi jejaring pendidikan nasional (Jardiknas) senilai Rp 247.255.586.000. Artinya ada penurunan anggaran yang drastis. Alokasi anggaran terbesar yakni pada sewa bandwith senilai Rp 190 M dan nilai ini terbesar sejak tahun 2007. Artinya dengan alokasi dana ini terpaut sedikit dengan bea siswa miskin siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) senilai Rp 230 M.
Meski telah menghabiskan anggaran ratusan milyar tiap tahun, bukan berarti semuanya berjalan lancar. Sudah banyak yang mengadu terkait sulitnya mengakses fasilitas yang disediakan. Misalnya kendala mengunduh BSE baik karena lambat atau tiba-tiba putusnya akses jaringan, Bank soal yang disediakan pun sulit didapat oleh para pengguna. Salah seorang pakar teknologi informasi, Prof Marsudi W Kisworo saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi X menegaskan bahwa fasilitas laboratorium internet untuk pendidikan dasar tidak sesuai. Karena pada tingkat SD-SMP, pembelajaran tidak dapat tergantung pada media namun pada seluruh perilaku guru.

Pada aspek pengelola Jardiknas tingkat pusat sendiri, pemahaman atas manajemen masih berorientasi pada output bukan pada outcame bahkan impact. Mereka selalu membanggakan sudah membuka jaringan di berapa sekolah, sudah melatih perangkat di daerah berapa ribu guru atau tiap hari di akses berapa puluhribu siswa. Padahal yang jauh lebih penting memotret outcame dan dampak adanya Jardiknas ini. Bila tujuannya meningkatkan kualitas, sudah semestinya ada indikator yang bisa dilihat dari hasil pengelolaan Jardiknas. Belum ada penelitian independen atas pengaruh program Jardiknas pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Sayangnya hingga tahun 2009, berdasar data-data yang ditunjukkan oleh Pustekkom terhadap pemanfaatan layanan ini masih minim. Misalnya saja untuk e-edukasi yang berisi bank soal, artikel, profil sekolah, peningkatan kompetensi guru dinyatakan diakses oleh 20.000 pengunjung/hari. Kemudian buku sekolah elektronik yang berisi materi-materi pelajaran sekolah dikunjungi 46.542 orang/hari, sicerdik berisi berbagai konsep cyber school hanya dilihat 2.332 orang perbulan. Tentu jumlah yang sangat tidak sebanding dengan data siswa maupun guru di Indonesia yang mencapai 50.954.358 siswa (usia 0-18 tahun) dan 3.558.231 guru TK-SMA (berdasarkan data pokok pendidikan 2007/2008).

Kondisi berbagai daerahpun tidak bisa dianggap sama bahwa semua sekolah telah siap dengan program Jardiknas. Tidak usah kita membayangkan bagaimana dengan saudara kita di Papua, berbagai pelosok atau pedalaman di Jawa saja masih asing dengan computer apalagi internet. Sehingga tak aneh bila di pelosok pedesaan kita menemukan computer yang berdebu atau justru masih tertutup kardus dan sama sekali belum dibuka. Di Kabupaten Sragen Jawa Tengah saja, mendorong kepala desa untuk menggunakan computer, Pemda menyediakan satu orang tiap desa membantu menangani, mengajari bahkan merawat computer tersebut. Berbagai wilayah yang lain bahkan tidak ada energy listrik yang cukup tersedia sehingga justru ketika dipasang computer tidak bisa digunakan untuk aktivitas lainnya.


Tugas Penting Pengelola Jardiknas

Maka dari itu, adanya Jardiknas sebenarnya cukup potensial menjadi supporting sistem pendidikan di Indonesia. Keberadaannya memang sangat penting dan perlu di jaga keberlangsungannya. Jardiknas mestinya tidak hanya menjadi penyedia jasa layanan pendidikan tetapi justru didorong menjadi dinamisator pendidikan yang memanfaatkan perkembangan teknologi.

Kedepan, pengelola Jardiknas dalam hal ini Pustekkom harus melakukan terobosan-terobosan penting tidak terkesan ini semata-mata proyek alias business as usual. Langkah tersebut yaitu pertama perlunya strategic plan pengelolaan Jardiknas dan bukan sekedar IT (Information Technologi) plan semata. Kedua, dibutuhkan adanya monitoring dan evaluasi berkala bagi penyelenggaraan Jardiknas oleh pihak independen untuk mengetahui dan membenahi kekurangan yang ada. Sampai saat ini, belum pernah dilakukan evaluasi atas pelaksanaan program Jardiknas. Termasuk juga untuk melihat perlakuan-perlakuan terhadap sekolah yang tentu saja berbeda. Untuk sekolah perkotaan misalnya ada standar tertentu bagi penyediaan Jardiknas yang berbeda dengan sekolah di pedesaan atau pedalaman. Demikian juga untuk level SD, manajemen pengajaran serta ilmu yang disampaikan sampai pada level tertentu yang tidak sama dengan level SMU maupun perguruan tinggi.

Ketiga, adanya survey dan pemetaan atas dampak pemasangan Jardiknas hingga akhir tahun 2009. Pemetaan ini untuk mendapatkan potret dampak dan penyebab adanya dampak itu. Pemetaan ini penting dalam kerangka input penyusunan strategic plan. Keempat, memasukkan Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) masuk dalam KBM (kegiatan belajar mengajar) di sekolah-sekolah. Agar TIK tidak dimaknai sempit sebagai mata pelajaran komputer dan internet tetapi tiap mata pelajaran dapat menggunakan internet. Ada integrasi antara TIK dengan metode pembelajaran sekolah.

Yang mendasar sebenarnya adalah membudayakan teknologi bagi masyarakat. Sebab teknologi informasi bagi masyarakat Indonesia nampaknya belum menjadi kebutuhan penting terutama bagi masyarakat pedesaan atau pedalaman. Teknologi komputerisasi tumbuh jauh lebih lambat dibanding alat-alat elektronik. Bila media elektronik seperti televisi, radio maupun telepon genggam relative lebih cepat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan teknologi internet mudah bagi masyarakat di perkotaan atau cenderung bisa diterima di level menengah keatas. Maka dari itu, pemerintah mestinya tidak hanya mengandalkan Depdiknas untuk menyebarkan Jardiknas namun beriringan dengan departemen lain menumbuhkan budaya melek teknologi yang ramah terhadap siapapun supaya dampak yang diharapkan dari program jejaring pendidikan nasional benar-benar terwujud, semoga.



Penulis adalah Staff ahli anggota DPR RI Komisi X Periode 2010-2014
Tulisan ini adalah pendapat pribadi

Selasa, 05 Januari 2010

POTRET PERJALANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR 2009

|0 komentar
Kabupaten Karanganyar cukup dikenal dengan proses perjalanan panjang dan berlarut-larut saat menetapkan Rina Iriani saat proses pemilihan bupati masih dilakukan oleh DPRD tahun 2003. Setelah tertunda selama 1 tahun lebih akhirnya dia dilantik bahkan kini memasuki periode kedua dalam jabatannya. Karanganyar sendiri adalah salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur. Suasana pegunungan yang asri dan menyimpan potensi bagi penyimpanan air untuk kebutuhan warga di eks karesidenan Surakarta.

Meski demikian, bila dilihat perjalanan selama 2009, banyak muncul problem di wilayah. Berbagai problem social juga muncul. Hampir sama dengan berbagai wilayah sekitarnya, anggaran daerah menjadi isu yang benar-benar dicermati media. Misalnya perdebatan soal turunnya jaminan kesehatan tahun 2009 yang tinggal Rp 1,8 M saja. Disisi lain pelajar miskin masih membutuhkan bantuan hingga Rp 2,9 M untuk dukungan 14.900 siswa. Hal ini juga terjadi di Jamkesda yang ikut dikurangi sampai 65.861 jiwa di 21 puskesmas serta 60 puskesmas pembantu senilai Rp 1 M. Perbandingan terbalik dengan mantan anggota dewan yang hingga 1 bulan belum mengembalikan mobil dinas kijang ber plat AD 9502 JF itu.

Beban masyarakat miskin setiap tahunnya bertambah dan anehnya data siswa yang membutuhkan PMTAS tak berubah juga. Mereka hanya mendapat alokasi anggaran Rp 2.000/siswa dari sekitar 13.000 siswa di 103 SD dan MI. LSM Gerindo malah menemukan banyak proposal fiktif untuk program Bantuan Tunai Masyarakat (BLM). Yang sempat menjadi pemberitaan berkelanjutan adalah proyek pembangunan rumah subsidi Griya Lawu Asri di daerah Gondang Rejo. Proyek itu sendiri diresmikan Presiden SBY tahun 2007 namun hingga akhir 2009 masih mangkrak. Ada SPPT terutang menjadi 270 pemilik. Diduga banyak pemohon fiktif agar terlihat proyek itu berhasil. Berdasar pemberitaan baru ada 700 rumah yang terbangun dan yang belum dibayar sebanyak 350 pemilik. Padahal targetnya bisa dibangun 1370 rumah dengan subsidi bagi masyarakat kurang mampu senilai Rp 12,5 juta. Fakta di lapangan, subsidi yang diterima masyarakat hanya Rp 9 juta saja. Itupun sudah banyak yang melunasi namun rumah belum tersedia.

Polemik yang juga berkembang yakni soal rencana pemangkasan Alokasi Dana Desa (ADD) dari Rp 150 juta pada tahun 2009 akan menjadi Rp 50 juta di Tahun 2010. Bupati meminta agar masyarakat memahami kondisi keuangan Pemda berkaitan dengan kemampuan dan banyak habis untuk membayar gaji pegawai. Hal ini juga didasarkan pada ketertiban pemerintah desa yang kurang tertib dalam administrasi. Pada awal Oktober juga baru 50 desa dari 170 desa yang menyelesaikan SPJ ADD Tahap 1 dari anggaran Rp 26,7 M. Meski sudah di deadline, nampaknya banyak desa yang mengabaikan batas waktu tersebut. 69 desa terancam tak memperoleh ADD karena SPJ tidak beres serta banyaknya APBDes yang disusun tidak sesuai peraturan daerah. Sementara itu sejumlah praja dan masyarakat menyayangkan adanya rencana pemangkasan ADD tersebut.

Setali tiga uang, pengelolaan APBD oleh aparat birokrasi juga mengalami hambatan. MIsalnya saja hingga awal Februari 2009 APBD tak rampung disusun. Pemkab sendiri harus memutar otak untuk menambah anggaran bagi pembayaran gaji PMS karena DAU yang didapat sebesar Rp 520 M ternyata kebutuhannya sebesar Rp 528 M. Legislatif nampaknya tidak melakukan aksi solidaritas atas minimnya dana APBD karena mereka tetap memasukkan anggaran pesangon sebesar Rp 10jt/anggota DPRD. Pemkab berusaha mengurangi dari rencana pembelian mobil dinas. Beban daerah semakin diperparah dengan adanya 5 SKPD tak penuhi target PAD seperti Dinas Pekerjaan Umum dari target Rp 2,5 M dapat tercapai Rp 2,3 M (93%).

Kantor Catatan Sipil ingin mendapat Rp 367 juta pada tahun 2009 hanya memasok Rp 285juta (77%). Disduknakertrans dari anggaran yang ingin disetor ke daerah Rp 1,1 M terpenuhi sekitar Rp 758 juta (67%) alias prosentase pemenuhan terkecil. Adapun 2 SKPD lain yakni Disperindag yang berkeinginan mendapat Rp 707jt ternyata baru terkumpul Rp 528juta (74%) serta Diparta sebagai salah satu instansi yang cukup berpeluang mendapat pundi-pundi bagi daerah ternyata hanya mendapat Rp 819juta dari rencana Rp 681juta (83%).

 Di daerah yang dipimpin Hj Rina Iriani-Paryono ini juga ditemukan proyek yang amburadul. Sebut saja jalan ditemukan rusak sebelum diresmikan. Kontraktor PT Praba Cipta Artha menggarap jalan di sendang kebak Jumantono dengan ukuran 4m x 4,45 KM itu secara serampangan sebab kepala daerah melihat kualitas hasilnya sangat buruk. Proyek dengan nilai 1,635M tersebut sebelum diresmikan ternyata sudah retak-retak. Dengan berbagai tantangan itu, Pemkab berencana melakukan utang Rp 12 M untuk revitalisasi pasar tuban. Tentu saja rencana ini banyak menimbulkan kecaman masyarakat. Padahal Pemkab sendiri menyatakan siap revitalisasi pasar tradisional senilai Rp 19,5 M dari menkeu sebagai reward karena pengelolaan keuangan daerah dinilai baik

Pada akhir tahun anggaran ternyata Setwan kembali mengajukan pembelian 2 mobdin dengan nilai @ Rp 450jt karena bertambahnya unsur pimpinan DPRD dan fraksi padahal kondisi Keuangan daerah memprihatinkan, misalnya perkiraan SILPA 2010 senilai 0. Pada APBD Tahun 2009 terjadi defisit Rp 83 M, gaji 553 M padahal DAU 517 (5 Maret). Kondisi kritis ini secara umum ditambahi dengan semakin banyaknya lahan kritis 20.000 dan 1.000 sangat kritis, juga di awal tahun ada pelantikan pejabat 467 orang terdapat 3 orang yang telah menjadi tersangka yaitu Narmo tersangka DAK (kini jadi staf ahli), Narimo tersangka penyelewengan pupuk sekarang jadi sekretaris BPMD dan Sri Suranto kini menjabat Kadispora. Selain itu mantan wakil bupati, Sri sadoyo di vonis bebas dari dugaan korupsi seniali Rp 2,9 M pada APBD 2001-2002 dari tuntutan 6 th dan denda 100jt. Apakah periode 2010 akan lebih baik? Kita lihat saja……