Kamis, 28 Mei 2009

SUDAHKAH APBD BERPIHAK PADA MASYARAKAT?

|0 komentar
Era reformasi di Indonesia ditandai dengan banyaknya perubahan disegala bidang tidak hanya berubahnya bentuk atau penamaan instansi namun hingga mencapai tataran perubahan kebijakan. Salah satu perubahan kebijakan yang juga penting yakni adanya perubahan kebijakan dibidang anggaran. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga disertai penyerahan budget pada daerah. Desentralisasi pemerintahan mengakibatkan daerah mendapatkan banyaknya alokasi anggaran untuk dikelola. Memang salah satu tujuan dari reformasi anggaran adalah mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Pembangunan yang dilaksanakan pun akan segera terlaksana jika dikerjakan oleh pemerintah daerah. Tetapi apakah benar memang demikian yang terjadi?


Banyak daerah yang menerima limpahan anggaran yang cukup besar dari pemerintah pusat hingga saat ini masih belum beranjak dari keterpurukannya. Lihat saja daerah-daerah penghasil minyak, gas hingga tambang. Mereka masih bergelut dengan problem-problem dasar. Wilayah seperti di Riau, Papua dan Kalimantan Timur tidak banyak berubah dibanding pada saat orde baru berkuasa. Berbagai kasus korupsi yang melanda pejabat di 3 daerah itu juga semakin mengindikasikan ada yang salah dengan menejemen pemerintahan. Mentalitas birokrasi di era desentralisasi harus segera di ubah secara frontal supaya harapan desentralisasi bisa segera terlaksana. Tingkat kesejahteraan masyarakat benar-benar harus menjadi tujuan dialokasikannya dana dari pusat ke daerah.

Subsidi silang daerah kaya dengan daerah miskin harus terus dilakukan sehingga wilayah seperti NTT, NTB maupun kawasan yang minim dengan kekayaan alamnya bisa terbantu. Di Jawa sendiri sebenarnya juga sama hanya saja ketersediaan fasilitas publiknya sudah jauh lebih memadai sehingga relative tidak menimbulkan banyak persoalan. Bagaimana dengan 7 kabupaten/kota di Solo Raya menghadapi desentralisasi? Salah satu cara yang memudahkan kita untuk menilai yakni dengan melibat alokasi belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing kabupaten. Disinilah letak cerminan bagaimana kepada daerah mengelola sumber daya yang mereka miliki baik teknologi, manusia maupun keterbatasan anggaran.
Jawa Tengah termasuk salah satu kawasan yang minim sumber daya alam sehingga harus mengandalkan sector yang lain.

Ada juga yang memang masih memiliki cadangan alam seperti Cilacap dengan minyaknya, Cepu dengan gas nya ataupun kawasan Purwodadi dengan keberadaan hutan yang lebat. Namun 7 kabupaten/kota di Solo raya nampaknya tidak cukup tersedia berbagai dukungan tadi sehingga mereka banyak mengandalkan sector-sektor yang bisa diperbaharui misalnya pertanian, industry maupun jasa. Perlu diketahui meskipun distribusi anggaran dari pemerintah pusat cukup memadai tetapi ternyata urusan pembayaran pegawai juga menjadi kewenangan daerah. Inilah yang akan lebih jauh kita lihat. Seberapa besar APBD dialokasikan untuk pembangunan dan seberapa besar dialokasikan untuk aktivitas-aktivitas yang regular.


Disadari atau tidak, distribusi untuk gaji selama ini memang memakan uang yang sangat besar. Belum lagi untuk aktivitas-aktivitas harian para pegawai dikantor. Masih ada biaya perawatan/pemeliharaan, belanja modal kantor, ATK dan lain sebagainya. Sebenarnya sejauh mana daerah mendistribusikan dana yang mereka miliki untuk meningkatkan derajat kesejahteraan warga mereka. Selain belanja pembangunan (modal), masih ada program bantuan keuangan. Bantuan inilah yang juga didistribukan untuk daerah bawahan seperti desa. Oleh desa, dana ini juga digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 167 ayat (1) dan (2) dijelaskan untuk apa belanja itu. Pada ayat (1) berbunyi: ” Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22” dan dilanjutkan ayat (2) yang menegaskan “Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas social dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan social”.

Meski dalam aturan itu sudah sangat jelas tetapi nampaknya praktek dilapangan tidak demikian. Perhatikan prosentase yang muncul dalam table berikut:

Dalam UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (4) dan UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 66 ayat (3) yang bunyinya sama yaitu “APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi”. Dalam klausul penjelasan disebutkan bahwa “Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Lihat saja pada pos belanja pegawai yang semuanya memakan anggaran lebih dari 50 persen. Sedangkan alokasi belanja pembangunan terutama belanja modal terbesar hanya 23,93 persen (Kota Solo Tahun 2007). Bagaimana dengan kemajuan daerah apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika alokasi APBD sebagian besar untuk pegawai? Jika kita nilai, kalau sebagian besar alokasi belanja daerah hanya digunakan untuk belanja operasional terutama belanja pegawai dan belum memenuhi terutama fungsi alokasi yaitu mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian apa tindakan kita? Apakah kita akan diam saja? Berarti reformasi birokrasi dan reformasi keuangan di pemerintah daerah bisakah dinilai telah berhasil?

Selasa, 26 Mei 2009

SUDAHKAH APBD BERPIHAK PADA MASYARAKAT?

|0 komentar
Oleh : M Histiraludin *)

Era reformasi di Indonesia ditandai dengan banyaknya perubahan disegala bidang tidak hanya berubahnya bentuk atau penamaan instansi namun hingga mencapai tataran perubahan kebijakan. Salah satu perubahan kebijakan yang juga penting yakni adanya perubahan kebijakan dibidang anggaran. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga disertai penyerahan budget pada daerah. Desentralisasi pemerintahan mengakibatkan daerah mendapatkan banyaknya alokasi anggaran untuk dikelola. Memang salah satu tujuan dari reformasi anggaran adalah mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Pembangunan yang dilaksanakan pun akan segera terlaksana jika dikerjakan oleh pemerintah daerah. Tetapi apakah benar memang demikian yang terjadi?

Banyak daerah yang menerima limpahan anggaran yang cukup besar dari pemerintah pusat hingga saat ini masih belum beranjak dari keterpurukannya. Lihat saja daerah-daerah penghasil minyak, gas hingga tambang. Mereka masih bergelut dengan problem-problem dasar. Wilayah seperti di Riau, Papua dan Kalimantan Timur tidak banyak berubah dibanding pada saat orde baru berkuasa. Berbagai kasus korupsi yang melanda pejabat di 3 daerah itu juga semakin mengindikasikan ada yang salah dengan menejemen pemerintahan. Mentalitas birokrasi di era desentralisasi harus segera di ubah secara frontal supaya harapan desentralisasi bisa segera terlaksana. Tingkat kesejahteraan masyarakat benar-benar harus menjadi tujuan dialokasikannya dana dari pusat ke daerah.

Subsidi silang daerah kaya dengan daerah miskin harus terus dilakukan sehingga wilayah seperti NTT, NTB maupun kawasan yang minim dengan kekayaan alamnya bisa terbantu. Di Jawa sendiri sebenarnya juga sama hanya saja ketersediaan fasilitas publiknya sudah jauh lebih memadai sehingga relative tidak menimbulkan banyak persoalan. Bagaimana dengan 7 kabupaten/kota di Solo Raya menghadapi desentralisasi? Salah satu cara yang memudahkan kita untuk menilai yakni dengan melibat alokasi belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing kabupaten. Disinilah letak cerminan bagaimana kepada daerah mengelola sumber daya yang mereka miliki baik teknologi, manusia maupun keterbatasan anggaran.

Jawa Tengah termasuk salah satu kawasan yang minim sumber daya alam sehingga harus mengandalkan sector yang lain. Ada juga yang memang masih memiliki cadangan alam seperti Cilacap dengan minyaknya, Cepu dengan gas nya ataupun kawasan Purwodadi dengan keberadaan hutan yang lebat. Namun 7 kabupaten/kota di Solo raya nampaknya tidak cukup tersedia berbagai dukungan tadi sehingga mereka banyak mengandalkan sector-sektor yang bisa diperbaharui misalnya pertanian, industry maupun jasa. Perlu diketahui meskipun distribusi anggaran dari pemerintah pusat cukup memadai tetapi ternyata urusan pembayaran pegawai juga menjadi kewenangan daerah. Inilah yang akan lebih jauh kita lihat. Seberapa besar APBD dialokasikan untuk pembangunan dan seberapa besar dialokasikan untuk aktivitas-aktivitas yang regular.

Disadari atau tidak, distribusi untuk gaji selama ini memang memakan uang yang sangat besar. Belum lagi untuk aktivitas-aktivitas harian para pegawai dikantor. Masih ada biaya perawatan/pemeliharaan, belanja modal kantor, ATK dan lain sebagainya. Sebenarnya sejauh mana daerah mendistribusikan dana yang mereka miliki untuk meningkatkan derajat kesejahteraan warga mereka. Selain belanja pembangunan (modal), masih ada program bantuan keuangan. Bantuan inilah yang juga didistribukan untuk daerah bawahan seperti desa. Oleh desa, dana ini juga digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 167 ayat (1) dan (2) dijelaskan untuk apa belanja itu. Pada ayat (1) berbunyi: ” Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22” dan dilanjutkan ayat (2) yang menegaskan “Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas social dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan social”.

Meski dalam aturan itu sudah sangat jelas tetapi nampaknya praktek dilapangan tidak demikian. Dalam UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (4) dan UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 66 ayat (3) yang bunyinya sama yaitu “APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi”. Dalam klausul penjelasan disebutkan bahwa “Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Lihat saja pada pos belanja pegawai yang semuanya memakan anggaran lebih dari 50 persen. Sedangkan alokasi belanja pembangunan terutama belanja modal terbesar hanya 23,93 persen (Kota Solo Tahun 2007). Bagaimana dengan kemajuan daerah apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika alokasi APBD sebagian besar untuk pegawai? Jika kita nilai, kalau sebagian besar alokasi belanja daerah hanya digunakan untuk belanja operasional terutama belanja pegawai dan belum memenuhi terutama fungsi alokasi yaitu mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian apa tindakan kita? Apakah kita akan diam saja? Berarti reformasi birokrasi dan reformasi keuangan di pemerintah daerah bisakah dinilai telah berhasil?


Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo
No Kontak 08125514473
Update 26 Mei 2009
 Email : anugrahrawiyah@gmail.com