Sabtu, 29 November 2008

Pro Kontra Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

|0 komentar
Oleh : M Histiraludin *)

PNPM yang diklaim oleh pemerintah pusat sangat berhasil dan menjangkau puluhan daerah ternyata menimbulkan pro dan kontra. Artinya tidak disemua daerah program itu diterima masyarakat bahkan ada 22 daerah yang menolak program tersebut (http://www.korantempo.com/korantempo) termasuk salah satunya di DKI Jakarta. Sudah ada puluhan alasan yang dikemukakan berbagai daerah itu. Di Semarang, penolakan itu justru dilakukan oleh DPRD Kota Semarang yang beralasan budget yang ada tidak cukup menjadi pendamping PNPM yang dialokasikan melalui APBN. Sukawi Sutarip sebagai kepala daerah mengaku pasrah atas kondisi itu. Di Kota Solo, ketika Walikota akhirnya “menyerah” menerima PNPM, justru menimbulkan konflik baru bagi aktivis posyandu dan kelompok kerja Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Dana pendamping PNPM justru diambil dari 2 pos tersebut. Ini mengindikasikan pemaksaan program pusat dan lebih mengorbankan kepentingan masyarakat miskin. Pro Kontra itu tidak hanya diranah itu. Di beberapa milis juga terjadi perdebatan yang sama. Berdasarkan pantauan penulis, perdebatan soal ini terjadi setidaknya di milis fasilitator_masyarakat@yahoogroups.com, studi-desentralisasi@yahoogroups.com serta di milis aktivissolo98@yahoogroups.com. DKI Jakarta sendiri menolak PNPM dengan argumentasi sudah ada program PPMK yang sudah lebih dulu diluncurkan.

Milis fasilitator_masyarakat@yahoogroups.com yang notabene berisi aktifis pendamping atau fasilitator pnpm lebih banyak menyoroti keberhasilan pnpm. Meski ada satu dua anggota milis yang menolak fakta-fakta seperti diungkapkan dalam iklan PNPM baik di media cetak maupun elektronik. Ida Hayati menulisnya dengan “…..Sehingga tidak ada salahnya jika kita belajar dari para Kepala Daerah yang menolak PNPM, karena dia yang tahu titik lemah dari program ini. Ada baiknya alasan-alasan mereka didengar dengan kepala dingin. Bahkan nampaknya kita harus berterima kasih karena mereka yang membukakan mata sehingga kita tidak hanya melihat PNPM dari nama besarnya saja.......”. Sedangkan Eka Simanjuntak malah menyebarkan pencarian Fasilitator PNPM bernama Raiz Al Mahfudz asal Desa Kandris Kecamatan Benua Lima Kabupaten Barito Kalteng yang ngemplang dana BLM sekitar Rp 49jt.

Perdebatan menarik juga terjadi di milis studi-desentralisasi@yahoogroups.com yang lebih banyak mengeksplorasi PNPM dengan ADD (Alokasi Dana Desa). Nando menulis bahwa “….Beberapa waktu lalu saya sampaikan "kasihan Pemerintah Desa" terlalu banyak program yang masuk ke Desa dan pada intinya tujuannya sama. Terlepas diskusi ADD versus PNPM, seharusnya apapun bentuknya dan darimanapun asalnya dana yang masuk ke Desa dimasukkan ke APBDesa, dan penggunaan untuk belanja juga harus melalui apa yang sudah direncanakan oleh Desa yang tercermin dalam APBDesa dimaksud.”. Dalam bulletin inspirasi edisi 2/September 2007 ditulis “Yang paling mengenaskan adalah, banyak pemerintah kabupaten/kota lebih senang merespon PPK (PNPM-pen) tinimbang ADD. Pemerintah kabupaten/kota mengerjakan ADD dengan setengah hati dan orang-ogahan. Kebanyakan dari mereka berpikir pendek bahwa ADD tidak lebih dari menggelontorkan dana kabupaten/kota kepada desa. Karena itu, mengerjakan ADD sama dengan bunuh diri, memereteli sendiri sebagian sumberdaya yang selama ini dikangkanginya”

Diskusi soal PNPM juga terjadi di milis aktivissolo98@yahoogroups.com. Di milis ini lebih banyak mengeksplorasi konteks local Kota Solo. Muhammad Amin dalam komentarnya menegaskan di point 4 yakni “PNPM Mandiri mengklaim bahwa setiap kecamatan akan menciptakan lapangan kerja bagi 250 orang. Namun penciptaan lapangan kerja hanya bersifat sementara karena berbentuk cash for work. Program PNPM Mandiri adalah lapangan kerja semu yang tidak berorientasi jangka panjang. Setelah proyek selesai para pekerja pun akan menganggur lagi, miskin lagi. Namun, secara politis strategi ini akan diklaim sebagai prestasi yang bisa dijual bahwa pemerintah telah mengurangi pengangguran sehingga memperbaiki data pengangguran BPS”.

Perdebatan mengenai PNPM hanyalah salah satu konsekuensi dikembangkannya otonomi daerah di Indonesia. Artinya pemerintah pusat tidak bisa lagi seenaknya memaksakan kehendak sebuah program kepada daerah. Memang dilihat dari satu sisi mungkin terlihat positif tetapi dari kacamata berbeda mungkin bisa saja negative. Perlu penglihatan lebih detil dan komprehensif dalam kasus-kasus seperti ini. Di daerah minim sumber dana mungkin saja cocok memakai pola PNPM atau daerah yang lebih banyak bergantung pada pemerintah pusat. Namun bagaimana dengan daerah yang masyarakatnya sudah sadar berpartisipasi, institusi masyarakat sipilnya sudah berdaya cocok dengan pola seperti ini? Penulis mencatat setidaknya ada 9 hal yang perlu dicermati mengenai PNPM tersebut.

Idealnya perdebatan pnpm antara diterima atau ditolak sangat menarik meskipun urgensinya bukan disitu. Selama ini yang berhasil atau menolak tidak banyak memaparkan sisi keberhasilan maupun aspek penolakannya. Penulis lebih suka focus pada aspek “impact”nya. Bila berhasil, apa impact bagi masyarakat sekitar? Demikian juga sebaliknya. Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dilihat secara jeli
Pertama, Untuk pengajuan anggaran pnpm, dibutuhkan RPJMDes/kel (nantinya akan kesana) sementara kelurahan itu tidak ada aturan membuat RPJMkel. Kelurahan hanya membuat Renstra RKPD dan Renja SKPD. Padahal aturan untuk itu belum ada. Apakah semua desa yg sudah terima pnpm sudah membuat RPJMDes? Kalau masih ada yang belum, berarti proyek yang dikerjakan dengan pnpm hanya sekedar proyek. Tidak lebih dari itu. Kenapa? Proyek itu mestinya bagian dari rencana jangka menengah dan bukan alat pemadam kebakaran saja (memenuhi keinginan dibanding kebutuhan).

Kedua, Dalam struktur belanja SKPD, sepengetahuan penulis kalau sebuah program itu dibiayai dinas (APBD) ya dinas saja atau paling dengan APBN. Kalau digabungkan dengan dukungan dari luar (misalnya pnpm) nomenklaturnya tidak ada (lihat : Permendagri 13/2006 dan permendagri 59/2007). Lalu di APBDes, bagaimana pertanggungjawaban ADD yang digabung dengan pnpm? Bukti2 pertanggungjawabannya diserahkan ke kabupaten atau pnpm? Atau dibuat jadi dua? Kalau dibuat rangkap dua tentu ada potensi Double accounting.

Ketiga,  Ada kepala daerah yang menyatakan kalo dana pendamping itu sampai 50% : 50 %, berdasarkan pengetahuan penulis, diberbagai kabupaten dana APBD utk dana pendamping pnpm itu lbh kecil tdk sampai 50%. Kalau sampai segitu bisa terjadi ketidakadilan. Keempat, Yang penulis amati banyaknya pnpm jalan itu karena proses musrenbang di wilayah itu berjalan tidak optimal. Kenapa mesti harus buat LKM atau BKM? Padahal di UU, PP, Perda kan keberadaan LKM ataupun BKM tidak diakui…. Kenapa tidak memberdayakan LPM yang sudah ada serta diakui dalam Keppres 49/2001? Munculnya LKM/BKM menimbulkan potensi konflik di kemudian hari bila kepala desa tidak pandai mengatur siasatnya. Tahun depan adalah tahun pemilu dan banyak caleg yang butuh duit. Kalo tidak hati-hati, siap-siap duit pnpm digunakan sebagai alat kampanye.

Kelima, PNPM itu direncanakan langsung dilaksanakan....padahal yang namanya perencanaan itu harus melalui tahapan yang jelas (1 tahun sebelumnya). Ini melanggar prinsip-prinsip perencanaan yang diatur dalam PP 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Keenam, Makin lama, (dengan proses dan administrasi yang jauh lebih rumit dibanding APBD dan ADD) para fasilitator PNPM (sering disebut relawan) akan stress...mereka akan minta honor. Artinya menambah beban APBD lagi. Ketujuh, Program PNPM secara nasional leading sectornya Departemen Kimpraswil sementara untuk TKPKD (focus pada pengentasan kemiskinan) dibawah Menko Kesra. Jelas sulit untuk bisa konek krn budaya dari dulu bahwa setiap program itu milik instansi masing-masing yang hingga sekarang tidak berubah (Ini menanggapi perdebatan di media soal pnpm harus dibawah koordinasi TKPKD).

Kedelapan, Keuangan desa itu diatur dengan Permendagri No 37 Tahun 2007. Ada yang bisa jelaskan PNPM masuk di pasal mana? Atau setidaknya integrasinya di pasal berapa? Kesembilan, Sebenarnya berapa utang Negara untuk penyelenggaraan PNPM ini? Selama ini pemerintah pusat belum mengclearence lebih jelas. Lebih dari Rp 5-6 T/tahun kan? Kenapa teman-teman fasilitator desa tidak mendorong Pemkab untuk mengimplementasikan pasal 68 PP 72 Tahun 2005 tentang ADD? Itu jelas hak desa yang tidak membebani Negara dan membebani anak cucu kita (terlepas berhasil atau tidak).

Akhirnya, saran penulis terhadap policy mengenai PNPM yaitu lebih baik PNPM diserahkan saja pada pemerintah daerah saja. Apabila akan mengambil program ini maka syarat dan konsekuensinya apa saja. Demikian pula bagi pemerintah daerah yang tidak tertarik untuk terlibat. Sehingga pembangunan daerah bisa optimal mengkreasikan pembangunan sesuai visi dan misi yang sudah ditetapkan. Semoga di dengar oleh Pemerintah Pusat, Amin.

Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo
No Kontak 08125514473
Update 29 November 2008
 Email : anugrahrawiyah@gmail.com

MEMOTRET KEMAMPUAN PEMERINTAH DAERAH DALAM OPTIMALISASI PENDAPATAN DAERAH

|0 komentar
Oleh : M Histiraludin *)

Berjalannya sebuah pemerintahan saat ini sangat bergantung banyak dengan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering dikenal dengan APBD. Hampir semua kabupaten kota di Indonesia jangankan mandiri, mengurangi ketergantungan pembangunan dari APBD saja nampaknya menjadi impian belaka. Bahkan banyak daerah yang justru menaikkan pendapatan mereka dengan sewenang-wenang. Menetapkan perda-perda baru yang justru malah memberi tambahan beban bagi warganya. Hal itu terbukti dengan maraknya pencabutan perda yang dilakukan oleh mendagri (silahkan cek di Permendagri www.depdagri.go.id). Nampaknya meskipun desentralisasi sudah dilaksanakan sejak 9 tahun lalu tetapi pola pikir birokrasi tak juga ada pembenahan.

APBD merupakan alat vital bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya. Hal itu secara jelas tercantum dalam UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Dalam lampiran penjelasan pasal-pasal terutama di Penjelasan Umum I point 6 alenia ke 2 dijelaskan bahwa “Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara”.  Maka dari itu pemerintah daerah harus mampu mengelola APBD secara baik dan jelas peruntukannya. Struktur APBD sendiri (yang sudah berubah dari model anggaran tradisional ke anggaran kinerja) terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan.

Pada aspek pendapatan inilah, banyak pemda melihat peluang untuk seenaknya melakukan pungutan-pungutan yang kadang dasar hukumnya sangat lemah. Padahal seperti diamanatkan dalam  PP No 58 Tahun 2005 Tentang Keuangan Daerah Penjelasan huruf A point 1 alenia 5 bahwa “Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak dan retribusi atau. pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran "horisontal" dan kewajaran "vertikal". Prinsip dari kewajaran horisontal menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama, sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/restribusi untuk membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban pajak yang tinggi pula. Tentunya untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah dapat melakukan diskriminasi tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan.”

Seringkali penetapan perda tentang pajak maupun retribusi tidak melaui kajian yang matang dari berbagai aspek yang melingkupinya. Yang menjadi patokan kajian hanyalah aspek ekonomi atau peluang penambahan penghasilan. Wajar saja jika bupati/walikota menghendaki. Karena semakin meningkat PAD (Pendapatan Asli Daerah) akan meningkatkan dukungan biaya operasional kepala daerah. Sementara kajian aspek kebudayaan, sosial, keamanan serta tanggungjawab sosial sering diabaikan. Disisi lain kadangkala naiknya pajak dan retribusi tidak diikuti kenaikan fasilitas atau layanan yang semakin baik. Inilah yang membuat masyarakat semakin apatis dan tidak peduli dengan berbagai program yang dicanangkan kepala daerahnya. Kita tidak akan mengupas aspek-aspek diatas namun akan melihat besaran pendapatan 7 kabupaten/kota di Solo raya untuk kurun waktu 2005 – 2007 (3 tahun terakhir).
 
    Sumber : LHP BPK           
    Anggaran yang tercantum merupakan rencana anggaran dan bukan realisasi

Dari aspek Pendapatan Asli Daerah (PAD), Kota Solo selalu unggul dibanding daerah lainnya. Selisihnya pun ada yang mencapai 50 persen. Padahal kita semua tahu bahwa Kota Solo wilayahnya tidak cukup luas dan banyak mengandalkan sektor jasa serta pariwisata. Kabupaten Sragen yang menjadi idola dalam urusan pelayanan satu atap itu ternyata pengumpulan PADnya masih kalah dengan Kabupaten Boyolali (yang pelayanan OSSnya tidak jelas). Bahkan Kabupaten Karanganyar yang pada tahun 2005-2006 PAD nya masih tertinggal jauh dengan Sragen maka pada tahun 2007 sudah hanya terpaut sekitar Rp 1 M. Kabupaten Sukoharjo mendapatkan PAD paling sedikit diantara 6 daerah yang lain. Apakah karena bupati Sukoharjo paling peduli dengan rakyatnya? Tunggu dulu. Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, karena bupati tidak ingin membebani masyarakatnya. Kedua, Potensi PAD tidak digarap secara optimal sehingga tidak banyak mendapat pendapatan. Ketiga, Banyak terjadi kebocoran dalam pungutan dilapangan.
Lihat saja perbandingan target pendapatan tiap tahunnya. Memang ada daerah yang kurang lebih sama namun jangan membandingkan dengan Kota Solo yang mematok PAD bisa sampai selisih lebih dari Rp 10 M. Daerah lain paling hanya berani mematok selisih Rp 3 – 8 M saja.

Wonogiri lebih aneh lagi, mematok PAD tahun 2007 justru lebih rendah dari PAD tahun sebelumnya. Untuk dana perimbangan, selama 3 tahun yang mendapat alokasi cukup besar adalah Kabupaten Klaten. Namun hal ini tidak bisa menjadi patokan keberhasilan kepala daerah. Sebab hampir 90 persen lebih dana perimbangan merupakan Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat dan peruntukannya untuk gaji pegawai. Artinya kalau Kabupaten Klaten mendapat alokasi terbesar berarti jumlah pegawainya bisa diasumsikan yang terbanyak. Untuk urusan dana perimbangan, Kota Solo paling minim mendapat alokasi itu karena mungkin saja jumlah pegawainya tidak cukup besar.

Apabila matrikulasi pendapatan 7 kabupaten/kota se Solo Raya itu dicermati, akan dapat diambil beberapa asumsi awal atas kondisi pendapatan daerah tahun 2005 - 2007. Pertama, Prediksi yang dilakukan pemerintah daerah sering tidak transparan, akibatnya kita tidak mengetahui indikator-indikator apa yang digunakan untuk mematok pendapatan tersebut. Akibat turunannya adalah target pendapatan tidak sesuai meskipun hasil akhir tahun lebih sering jauh melebihi plafon. Anehnya, pada perhitungan APBD, seringkali menjadi defisit bukan malah surplus. Kedua, prediksi yang diterapkan pemerintah daerah memiliki gejala yang sama yakni melakukan mark down (penurunan target). Hal ini dilakukan agar setelah perhitungan APBD, masyarakat melihatnya Pemda telah berhasil mencapai targetnya. Padahal target yang ditetapkan diawal tahun adalah target memang dibawah penilaian bukan target obyektif.

Ketiga, hampir tidak ada gambaran yang cukup jelas bagi tiap daerah untuk unggulan mendapatkan pajak ataupun retribusinya. Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Kota Solo. Walikota Solo menyatakan ketika pasar menjadi penyumbang terbesar PAD, maka otomatis distribusi belanja bagi pasar mendapatkan alokasi yang proporsional.Lalu bagaimana dengan yang lain? Boyolali tak jelas apakah dari sector pertanian mereka mendapat alokasi besar? Faktanya perdagangan hasil-hasil pertanian juga tidak mendapat porsi yang adil. Maka dari itu kabupaten-kabupaten perlu menetapkan target pendapatan dan meningkatkan atau memelihara sector yang telah menyumbangkan PAD tersebut.


Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo

Kamis, 27 November 2008

MEMOTRET KEMAMPUAN PEMERINTAH DAERAH DALAM OPTIMALISASI PENDAPATAN DAERAH

|0 komentar
 Berjalannya sebuah pemerintahan saat ini sangat bergantung banyak dengan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering dikenal dengan APBD. Hampir semua kabupaten kota di Indonesia jangankan mandiri, mengurangi ketergantungan pembangunan dari APBD saja nampaknya menjadi impian belaka. Bahkan banyak daerah yang justru menaikkan pendapatan mereka dengan sewenang-wenang. Menetapkan perda-perda baru yang justru malah memberi tambahan beban bagi warganya. Hal itu terbukti dengan maraknya pencabutan perda yang dilakukan oleh mendagri (silahkan cek di Permendagri www.depdagri.go.id). Nampaknya meskipun desentralisasi sudah dilaksanakan sejak 9 tahun lalu tetapi pola pikir birokrasi tak juga ada pembenahan.

APBD merupakan alat vital bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya. Hal itu secara jelas tercantum dalam UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Dalam lampiran penjelasan pasal-pasal terutama di Penjelasan Umum I point 6 alenia ke 2 dijelaskan bahwa “Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara”.  Maka dari itu pemerintah daerah harus mampu mengelola APBD secara baik dan jelas peruntukannya. Struktur APBD sendiri (yang sudah berubah dari model anggaran tradisional ke anggaran kinerja) terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan.

Pada aspek pendapatan inilah, banyak pemda melihat peluang untuk seenaknya melakukan pungutan-pungutan yang kadang dasar hukumnya sangat lemah. Padahal seperti diamanatkan dalam  PP No 58 Tahun 2005 Tentang Keuangan Daerah Penjelasan huruf A point 1 alenia 5 bahwa “Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak dan retribusi atau. pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran "horisontal" dan kewajaran "vertikal". Prinsip dari kewajaran horisontal menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama, sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/restribusi untuk membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban pajak yang tinggi pula. Tentunya untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah dapat melakukan diskriminasi tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan.”

Seringkali penetapan perda tentang pajak maupun retribusi tidak melaui kajian yang matang dari berbagai aspek yang melingkupinya. Yang menjadi patokan kajian hanyalah aspek ekonomi atau peluang penambahan penghasilan. Wajar saja jika bupati/walikota menghendaki. Karena semakin meningkat PAD (Pendapatan Asli Daerah) akan meningkatkan dukungan biaya operasional kepala daerah. Sementara kajian aspek kebudayaan, sosial, keamanan serta tanggungjawab sosial sering diabaikan. Disisi lain kadangkala naiknya pajak dan retribusi tidak diikuti kenaikan fasilitas atau layanan yang semakin baik. Inilah yang membuat masyarakat semakin apatis dan tidak peduli dengan berbagai program yang dicanangkan kepala daerahnya. Kita tidak akan mengupas aspek-aspek diatas namun akan melihat besaran pendapatan 7 kabupaten/kota di Solo raya untuk kurun waktu 2005 – 2007 (3 tahun terakhir).


Dari aspek Pendapatan Asli Daerah (PAD), Kota Solo selalu unggul dibanding daerah lainnya. Selisihnya pun ada yang mencapai 50 persen. Padahal kita semua tahu bahwa Kota Solo wilayahnya tidak cukup luas dan banyak mengandalkan sektor jasa serta pariwisata. Kabupaten Sragen yang menjadi idola dalam urusan pelayanan satu atap itu ternyata pengumpulan PADnya masih kalah dengan Kabupaten Boyolali (yang pelayanan OSSnya tidak jelas). Bahkan Kabupaten Karanganyar yang pada tahun 2005-2006 PAD nya masih tertinggal jauh dengan Sragen maka pada tahun 2007 sudah hanya terpaut sekitar Rp 1 M. Kabupaten Sukoharjo mendapatkan PAD paling sedikit diantara 6 daerah yang lain. Apakah karena bupati Sukoharjo paling peduli dengan rakyatnya? Tunggu dulu. Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, karena bupati tidak ingin membebani masyarakatnya. Kedua, Potensi PAD tidak digarap secara optimal sehingga tidak banyak mendapat pendapatan. Ketiga, Banyak terjadi kebocoran dalam pungutan dilapangan.
Lihat saja perbandingan target pendapatan tiap tahunnya. Memang ada daerah yang kurang lebih sama namun jangan membandingkan dengan Kota Solo yang mematok PAD bisa sampai selisih lebih dari Rp 10 M. Daerah lain paling hanya berani mematok selisih Rp 3 – 8 M saja.

Wonogiri lebih aneh lagi, mematok PAD tahun 2007 justru lebih rendah dari PAD tahun sebelumnya. Untuk dana perimbangan, selama 3 tahun yang mendapat alokasi cukup besar adalah Kabupaten Klaten. Namun hal ini tidak bisa menjadi patokan keberhasilan kepala daerah. Sebab hampir 90 persen lebih dana perimbangan merupakan Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat dan peruntukannya untuk gaji pegawai. Artinya kalau Kabupaten Klaten mendapat alokasi terbesar berarti jumlah pegawainya bisa diasumsikan yang terbanyak. Untuk urusan dana perimbangan, Kota Solo paling minim mendapat alokasi itu karena mungkin saja jumlah pegawainya tidak cukup besar.

Apabila matrikulasi pendapatan 7 kabupaten/kota se Solo Raya itu dicermati, akan dapat diambil beberapa asumsi awal atas kondisi pendapatan daerah tahun 2005 - 2007. Pertama, Prediksi yang dilakukan pemerintah daerah sering tidak transparan, akibatnya kita tidak mengetahui indikator-indikator apa yang digunakan untuk mematok pendapatan tersebut. Akibat turunannya adalah target pendapatan tidak sesuai meskipun hasil akhir tahun lebih sering jauh melebihi plafon. Anehnya, pada perhitungan APBD, seringkali menjadi defisit bukan malah surplus. Kedua, prediksi yang diterapkan pemerintah daerah memiliki gejala yang sama yakni melakukan mark down (penurunan target). Hal ini dilakukan agar setelah perhitungan APBD, masyarakat melihatnya Pemda telah berhasil mencapai targetnya. Padahal target yang ditetapkan diawal tahun adalah target memang dibawah penilaian bukan target obyektif.

Ketiga, hampir tidak ada gambaran yang cukup jelas bagi tiap daerah untuk unggulan mendapatkan pajak ataupun retribusinya. Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Kota Solo. Walikota Solo menyatakan ketika pasar menjadi penyumbang terbesar PAD, maka otomatis distribusi belanja bagi pasar mendapatkan alokasi yang proporsional.Lalu bagaimana dengan yang lain? Boyolali tak jelas apakah dari sector pertanian mereka mendapat alokasi besar? Faktanya perdagangan hasil-hasil pertanian juga tidak mendapat porsi yang adil. Maka dari itu kabupaten-kabupaten perlu menetapkan target pendapatan dan meningkatkan atau memelihara sector yang telah menyumbangkan PAD tersebut.

Jumat, 21 November 2008

MENGKALKULASI RENCANA PEMBANGUNAN HOTEL BOUTIQUE

|0 komentar
Munculnya rencana pembangunan Hotel Boutique di lokasi strategis menimbulkan pro kontra. Banyak masyarakat yang menentang namun tidak sedikit yang mendukung pendirian hotel itu. Meski pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah sudah mengizinkan, nyatanya banyak kelompok masyarakat (terutama komunitas seniman) menentang rencana itu. Sebenarnya pertentangan itu muncul dikarenakan dikawasan tersebut ada bangunan peninggalan Belanda yakni Benteng Vastenburg yang selama ini memang tidak ada yang merawatnya. Statusnya sendiri awal mula dimiliki oleh militer Indonesia namun entah mengapa kini sudah ada ditangan pengusaha nasional Robby Sumampauw.

Mestinya polemic pendirian Hotel Boutique tidak dilihat dari sudut pandang saja terutama aspek ekonomi yang memang seringkali meninggalkan aspek lainnya. Kajian mendalam atas pendirian Hotel dan pusat perbelanjaan itu harus dikaji secara menyeluruh baik meliputi ekonomi, sosial, budaya maupun aspek lainnya. Disinilah pentingnya peran stakeholders kota yang harus dilibatkan oleh Walikota sehingga tidak mudah memberikan izin pembangunan (IMB). Memang hingga sekarang IMB belum terbit sehingga pelaksanaan pembangunan belum bisa segera dimulai. Justru itu, apabila Joko Widodo memang mau mempertimbangkan masak-masak hendaknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Kota Solo untuk segera diajak duduk bersama membahas rencana pendirian Hotel Boutique.

Pembicaraan bersama itu bukan untuk menghadap-hadapkan atau mengadu antara pihak investor dengan kelompok tertentu tetapi untuk mencari jalan keluar terbaik agar penyelesaian masalah dapat diterima semua pihak. Analisis penulis, yang berkepentingan atas pembangunan hotel itu tidak hanya investor dengan kelompok seniman saja (seperti yang muncul di media massa akhir-akhir ini) namun juga komunitas yang lain. Beberapa waktu yang lalu (sebelum polemik ini muncul) para pemilik hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI Solo menegaskan bahwa mereka masih mampu menampung tamu-tamu yang hadir di Kota Solo untuk berbagai kepentingan.

Sebut saja pengguna jasa transportasi yang sering melintas di kawasan Jend Sudirman. Apakah dengan pendirian Boutique member dampak atau tidak. Kemudian masyarakat di Sudiroprajan, Kampung Baru, Sangkrah, Kauman dan Kedunglumbu siap tidak menghadapi berbagai kemungkinan yang timbul atas pendirian Boutique entah dalam aspek pemenuhan tempat tinggal pekerja hotel (kos atau kontrak) ataupun system drainase yang selama ini ada. Jangan-jangan kawasan Sangkrah dan Sudiroprajan yang selama ini sudah sering tergenang bila musim hujan (karena meluapnya sungai pepe atau kali jenes untuk Kedunglumbu) justru akan bertambah parah seiring berkurangnya daerah resapan air.

Kawasan itu sendiri tidak semuanya milik Robby tetapi masih ada 4 pemilik yang lain seperti BPN, Bank Danamon, PSP dan juga Hartono. Selama ini yang terlihat “antusias” membangun hotel hanyalah Robby Sumampou sementara keempat pihak lain belum mengemukakan sesuatu. Apakah memang selain Robby sudah setuju atau ada perjanjian sewa menyewa diantara mereka karena memang bangunan hotel itu meliputi seluruh kawasan. Yang memang agak mengherankan, “diam”nya BPN selama ini. Padahal kalau benar mereka memiliki sebagian tanah dikawasan tersebut tentu prosedur di internal mereka jauh lebih kompleks. BPN (dan ke 3 pihak lain) perlu segera membuka terkait rencana Robby agar semuanya menjadi jelas.

Di lahan seluas 23.717m2 persegi itu sekitar 75 persennya akan digunakan untuk bangunan hotel dan pusat perbelanjaan. Menurut rencana, Hotel Boutique akan didirikan untuk 3 basement dan 13 lantai. Sedangkan pusat perbelanjaan terdapat 1 basement dengan 4 lantai (solopos 28/10). Solo sendiri memang memfokuskan mendapatkan pendapatan dari sector jasa dan perdagangan sehingga makna pendirian hotel dan kawasan perbelanjaan akan menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tentu saja rencana pendirian hotel dan pusat perbelanjaan itu akan menambah pundi-pundi bagi kota. Berarti dampak dalam aspek pendapatan daerah memang bisa dipotret. Hanya saja bukan 1 hal saja yang dilihat tetapi menyeluruh.

Jika saja kita berandai-andai untuk memetakan kemungkinan dampak positif dan negative untuk 10 aspek akan bisa dipilahkan. Dampak positif bisa terlihat dalam 8 aspek yang penulis kaji yakni meliputi aspek heritage, tenaga kerja, pendapatan warga sekitar, tempat kos, penataan kawasan, pendapatan daerah, perdagangan dan keindahan kota. Sementara kemungkinan aspek negative yang muncul terdapat di 8 aspek juga yakni heritage, tenaga kerja, lalu lintas, resapan air, pendapatan warga sekitar, tempat kos, penataan kawasan serta perdagangan (lihat table).

Jadi, pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) pendirian hotel itu harus mempertimbangkan berbagai aspek. Butuh kajian komprehensif yang melibatkan banyak pihak baik itu seniman, budayawan, akademisi, masyarakat sekitar lokasi atau pihak-pihak yang akan menerima dampak jika hotel tersebut jadi dibangun. Daripada segera menerbitkan IMB dan bila dikemudian hari timbul masalah tentu yang akan terkena dampak duluan adalah Walikota. Belum lagi saat ini 3 apartemen (Solo Paragon, Solo Center Point dan Kusuma Mulia Tower) yang salah satunya dilengkapi pusat perbelanjaan juga sedang dibangun.

Belum lagi dampak lanjutan bila ada salah satu pusat perbelanjaan tidak laku kemudian tutup. Tentu masyarakat yang akan dirugikan terutama pekerja di pusat perbelanjaan. Sudah ada 2 mall yang tutup akibat pendirian Solo Grand Mall di kawasan Slamet Riyadi yakni Hero Supermarket dan Matahari. Disisi lain masyarakat harus pro aktif memberikan masukan bagi walikota bukan soal setuju atau tidaknya namun dampak apa saja yang dapat timbul bila Hotel Boutique dan pusat perbelanjaan itu dibangun. Adakah solusi lain yang juga baik untuk mengantisipasi dampak negative yang bisa muncul. Bukankah rencana pengembangan kawasan timur Solo juga didengung-dengungkan Joko Widodo saat awal menjabat walikota. Bagaimana sekarang?

MENGKALKULASI RENCANA PEMBANGUNAN HOTEL BOUTIQUE

|0 komentar
Oleh : M Histiraludin *)

Munculnya rencana pembangunan Hotel Boutique di lokasi strategis menimbulkan pro kontra. Banyak masyarakat yang menentang namun tidak sedikit yang mendukung pendirian hotel itu. Meski pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah sudah mengizinkan, nyatanya banyak kelompok masyarakat (terutama komunitas seniman) menentang rencana itu. Sebenarnya pertentangan itu muncul dikarenakan dikawasan tersebut ada bangunan peninggalan Belanda yakni Benteng Vastenburg yang selama ini memang tidak ada yang merawatnya. Statusnya sendiri awal mula dimiliki oleh militer Indonesia namun entah mengapa kini sudah ada ditangan pengusaha nasional Robby Sumampauw.

Mestinya polemic pendirian Hotel Boutique tidak dilihat dari sudut pandang saja terutama aspek ekonomi yang memang seringkali meninggalkan aspek lainnya. Kajian mendalam atas pendirian Hotel dan pusat perbelanjaan itu harus dikaji secara menyeluruh baik meliputi ekonomi, sosial, budaya maupun aspek lainnya. Disinilah pentingnya peran stakeholders kota yang harus dilibatkan oleh Walikota sehingga tidak mudah memberikan izin pembangunan (IMB). Memang hingga sekarang IMB belum terbit sehingga pelaksanaan pembangunan belum bisa segera dimulai. Justru itu, apabila Joko Widodo memang mau mempertimbangkan masak-masak hendaknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Kota Solo untuk segera diajak duduk bersama membahas rencana pendirian Hotel Boutique.

Pembicaraan bersama itu bukan untuk menghadap-hadapkan atau mengadu antara pihak investor dengan kelompok tertentu tetapi untuk mencari jalan keluar terbaik agar penyelesaian masalah dapat diterima semua pihak. Analisis penulis, yang berkepentingan atas pembangunan hotel itu tidak hanya investor dengan kelompok seniman saja (seperti yang muncul di media massa akhir-akhir ini) namun juga komunitas yang lain. Beberapa waktu yang lalu (sebelum polemik ini muncul) para pemilik hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI Solo menegaskan bahwa mereka masih mampu menampung tamu-tamu yang hadir di Kota Solo untuk berbagai kepentingan.

Sebut saja pengguna jasa transportasi yang sering melintas di kawasan Jend Sudirman. Apakah dengan pendirian Boutique member dampak atau tidak. Kemudian masyarakat di Sudiroprajan, Kampung Baru, Sangkrah, Kauman dan Kedunglumbu siap tidak menghadapi berbagai kemungkinan yang timbul atas pendirian Boutique entah dalam aspek pemenuhan tempat tinggal pekerja hotel (kos atau kontrak) ataupun system drainase yang selama ini ada. Jangan-jangan kawasan Sangkrah dan Sudiroprajan yang selama ini sudah sering tergenang bila musim hujan (karena meluapnya sungai pepe atau kali jenes untuk Kedunglumbu) justru akan bertambah parah seiring berkurangnya daerah resapan air.

Kawasan itu sendiri tidak semuanya milik Robby tetapi masih ada 4 pemilik yang lain seperti BPN, Bank Danamon, PSP dan juga Hartono. Selama ini yang terlihat “antusias” membangun hotel hanyalah Robby Sumampou sementara keempat pihak lain belum mengemukakan sesuatu. Apakah memang selain Robby sudah setuju atau ada perjanjian sewa menyewa diantara mereka karena memang bangunan hotel itu meliputi seluruh kawasan. Yang memang agak mengherankan, “diam”nya BPN selama ini. Padahal kalau benar mereka memiliki sebagian tanah dikawasan tersebut tentu prosedur di internal mereka jauh lebih kompleks. BPN (dan ke 3 pihak lain) perlu segera membuka terkait rencana Robby agar semuanya menjadi jelas.

Di lahan seluas 23.717m2 persegi itu sekitar 75 persennya akan digunakan untuk bangunan hotel dan pusat perbelanjaan. Menurut rencana, Hotel Boutique akan didirikan untuk 3 basement dan 13 lantai. Sedangkan pusat perbelanjaan terdapat 1 basement dengan 4 lantai (solopos 28/10). Solo sendiri memang memfokuskan mendapatkan pendapatan dari sector jasa dan perdagangan sehingga makna pendirian hotel dan kawasan perbelanjaan akan menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tentu saja rencana pendirian hotel dan pusat perbelanjaan itu akan menambah pundi-pundi bagi kota. Berarti dampak dalam aspek pendapatan daerah memang bisa dipotret. Hanya saja bukan 1 hal saja yang dilihat tetapi menyeluruh.

Jika saja kita berandai-andai untuk memetakan kemungkinan dampak positif dan negative untuk 10 aspek akan bisa dipilahkan. Dampak positif bisa terlihat dalam 8 aspek yang penulis kaji yakni meliputi aspek heritage, tenaga kerja, pendapatan warga sekitar, tempat kos, penataan kawasan, pendapatan daerah, perdagangan dan keindahan kota. Sementara kemungkinan aspek negative yang muncul terdapat di 8 aspek juga yakni heritage, tenaga kerja, lalu lintas, resapan air, pendapatan warga sekitar, tempat kos, penataan kawasan serta perdagangan


Jadi, pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) pendirian hotel itu harus mempertimbangkan berbagai aspek. Butuh kajian komprehensif yang melibatkan banyak pihak baik itu seniman, budayawan, akademisi, masyarakat sekitar lokasi atau pihak-pihak yang akan menerima dampak jika hotel tersebut jadi dibangun. Daripada segera menerbitkan IMB dan bila dikemudian hari timbul masalah tentu yang akan terkena dampak duluan adalah Walikota. Belum lagi saat ini 3 apartemen (Solo Paragon, Solo Center Point dan Kusuma Mulia Tower) yang salah satunya dilengkapi pusat perbelanjaan juga sedang dibangun.

Belum lagi dampak lanjutan bila ada salah satu pusat perbelanjaan tidak laku kemudian tutup. Tentu masyarakat yang akan dirugikan terutama pekerja di pusat perbelanjaan. Sudah ada 2 mall yang tutup akibat pendirian Solo Grand Mall di kawasan Slamet Riyadi yakni Hero Supermarket dan Matahari. Disisi lain masyarakat harus pro aktif memberikan masukan bagi walikota bukan soal setuju atau tidaknya namun dampak apa saja yang dapat timbul bila Hotel Boutique dan pusat perbelanjaan itu dibangun. Adakah solusi lain yang juga baik untuk mengantisipasi dampak negative yang bisa muncul. Bukankah rencana pengembangan kawasan timur Solo juga didengung-dengungkan Joko Widodo saat awal menjabat walikota. Bagaimana sekarang?



Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo
No Kontak 08122514473
Update 21 November 2008
 Email : anugrahrawiyah@gmail.com