Kamis, 30 Oktober 2008

MEMETAKAN PARTAI POLITIK PENGUSUNG CAPRES

|0 komentar


Pelaksanaan pemilihan umum 2004 memberikan gambaran pada kita semua telah terjadi perubahan besar-besaran suara partai peserta pemilu. Banyak prediksi-prediksi perolehan suara yang meleset. Meskipun prediksi itu ditargetkan oleh ketua umum partai politik pada saat kampanye. Hasil inilah yang membuat partai kelabakan karena diluar perkiraan mereka sendiri. Yang justru diuntungkan adalah 2 partai yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang hingga kini masuk 6 besar dibawah Partai Demokrat yang juga termasuk ‘barang’ baru. Penurunan cukup tajam dialami oleh Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai lama (kecuali Partai Golkar) diberbagai tingkatan. Paling tidak bagi PDIP banyak kehilangan suara dibeberapa Kabupaten/Kota (Jawa Tengah) meski di Kabupaten Kebumen dan Kota Solo nampaknya ada pengecualian. Oleh Pramono Anung (Wakil Sekjen DPP PDIP) dinyatakan inilah konstituen riil partai moncong putih itu. Sementara Megawati menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa PDIP hanya kekurangan suara.

Tak terasa 1 tahun terakhir ini masyarakat akan kembali dikotak-kotakkan oleh pengamat politik, pooling, pengurus partai untuk menentukan siapa Presiden mendatang. Akankah kita juga larut dalam perdebatan dengan teman kita sekantor, ayah kita, saudara kita untuk membela mati-matian siapa calon yang akan kita dukung. Haruskah kita larut melihat permainan itu atau justru kita (dengan hati nurani) membuat pertimbangan siapa capres yang akan kita pilih tahun 2009 nanti. Saat ini semua media banyak menayangkan sandiwara aktor politik yang terlihat piawai bersandiwara melakukan silaturahmi sana, datang ke sini dan membuat pernyataan soal pasangan-pasangan itu. Belum lagi iklan politik di media elektronik begitu mempesona. Ada Prabowo, Sutrisno Bahir, Wiranto, SBY serta dari calon independen Rizal Malarangeng.

Tidakkah mereka belajar bahwa sikap rakyat jelas, bukan uang yang menentukan pilihan, bukan iklan di televisi yang membuat kita rela memilih atau juga bukan karena sembako rakyat akan memutuskan. Rakyat sudah banyak belajar dengan ‘sinetron’ yang episodenya memang tak pernah berakhir. Sebenarnya sederhana tuntutan masyarakat itu. Kalau capres-capres itu bersaing dengan kebajikan dan membuat negara ini damai dan ada peningkatan kesejahteraan tentu pilihan rakyat tak akan berpindah. Sayangnya semua itu hanya jargon kampanye yang susah dilihat buktinya. Pada akhirnya masyarakat susah mempercayai dengan apa yang mereka lihat di televisi, mereka dengar di radio dan mereka baca di Koran.

Kembali ke permasalahan awal, dari pengalaman pemilu sebelumnya atau paling tidak 3 periode pemilu yaitu tahun 1997, tahun 1999 serta tahun 2004 ini terlihat ada fenomena menarik yang kalau kita perhatikan ada pola pemilih dalam hal menentukan pilihan partai politik. Rakyat cenderung memilih partai atau tokoh partai yang ‘teraniaya’ oleh struktur atau regim yang berkuasa. Partai atau tokohnya yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pemegang kekuasaan. Dalam setiap pemilu bisa dilihat ada 4 elemen pemilih yang bisa disebut rentan berpindah pilihan atau sulit diprediksi pilihannya (Swing Voters). Pertama pemilih baru. Mereka relatif belum punya gambaran soal track record partai. Di sisi lain, pendidikan politik di Indonesia ini tidak bisa berjalan secara normal sehingga pemilih baru harus tanya sana sini untuk menentukan pilihan. Dia tidak dibekali pisau analisis yang tajam untuk membedah persoalan yang ada. Maka wajar saja pilihan mereka akan mengikuti tren. Kebanyakan dari mereka adalah anak SMU atau pemuda yang belum matang.

Kedua pemilih rasional. Mereka ini cenderung mudah berpindah-pindah pilihan karena kecewa dengan kebijakan partai yang dulunya sudah mereka pilih. Kebanyakan dari kelompok ini yakni kelas menengah berpendidikan. Potakan yang digunakan biasanya kebijakan partai dalam mensikapi persoalan. Pengaruh pemilih rasional lebih ditentukan oleh kiprah fraksi atau anggota dewan yang ada diparlemen. Makanya tidak heran kalau dibeberapa kota pemilih ini mudah terbang ke partai yang lain. Ketiga adalah pemilih yang terkena dampak kebijakan. Kebanyakan wujudnya kelompok karena rasa solidaritas. Misalkan masyarakat yang terkena penggusuran, buruh yang terkena PHK, pedagang kaki lima yang direlokasi dan lain sebagainya. Suara mereka akan mempengaruhi perolehan partai yang mampu mendudukkan kadernya sebagai walikota, bupati atau gubernur. Kelompok ini sikapnya jelas dan bila mereka tersingkirkan maka saluran politiknya akan berpindah.

Keempat, kader-kader partai yang kecewa baik karena atas penyusunan DCS (daftar caleg sementara) partai, tokoh partai yang pindah partai ataupun konflik internal partai. Keempat factor ini harus dicermati secara jeli sehingga prediksi perolehan suara tak akan meleset jauh dan imbasnya pada target perolehan suara.

Citra Partai politik

Sebenarnya kalau kita mau melihat pemilu tahun 1997, 1999 dan 2004 dapat dibaca kecenderungan perpindahan itu. Pada tahun 1997 ada kampanye besar-besaran yang dilakukan oleh Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan Solo, Mudrick Sangidoe tentang Mega Bintang yang kemudian menjadi menasional. Kebetulan tahun 1996 terjadi apa yang dikenal tragedi 27 Juli. Mega digulingkan secara tidak sah oleh regim Orde Baru dan Mudrick mempunyai alat kampanye jitu dengan Mega Bintangnya. Dia menangkap ada jutaan pemilih yang pasti akan golput maka dia manfaatkan kesempatan itu agar suara tidak sia-sia. Bisa dilihat perolehan PPP tahun 1997 sangat signifikan. Pada saat itu Mega belum mempunyai kendaraan politik yang dapat ikut pemilu. Begitu tahun 1999, masuk era multi partai, kelompok Megawati menyerukan kader banteng kembali ke kandang.

Saat itu konstituen belum lupa, bahwa Mega jelas “disingkirkan” oleh Soeharto dan PDIP akhirnya mampu membuktikan diri sebagai pemenang pemilu. Sayangnya, memasuki tahun  2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempunyai kendaraan sendiri malah disingkirkan dari kabinet oleh Mega. Awalnya dari perkataan Mega yang mengatakan menteri yang mencapreskan diri harus mundur karena tidak etis. Ditambahi dengan kata ‘anak kecil’ oleh Taufik Kiemas. Puncaknya, sewaktu SBY merasa tidak dilibatkan dalam koordinasi menghadapi pemilu dan mengajukan surat pertanyaan, Mega tak segera menjawabnya. Inilah akibat yang harus diterima, suara PDIP merosot dan Partai Demokrat menggeser partai-partai yang lebih mapan. Masyarakat memilih Partai Demokrat lebih dikarenakan SBY nya dan bukan karena platform partai. Hal ini berbeda dengan Partai Keadilan Sejahtera yang juga mendapat suara secara signifikan.

Perolehan suara yang tajam pada partai pimpinan Hidayat Nur Wahid ini lebih dikarenakan citra. Bahkan di DKI Jakarta, PKS mampu menjadi The Winner dengan mendudukkan 18 kadernya di dewan. Sepertinya kita mafhum mengenai sepak terjang anggota DPRD dari partai ini bisa diandalkan. Mereka menolak dana purna bhakti, menolak dana bantuan parpol hingga menjelang pemilu calegnya diberbagai wilayah bersedia melakukan kontrak politik. Cara berpolitik yang baru dan sangat diharapkan oleh rakyat. Partai ini besar bukan karena Hidayat, bukan karena idiologinya, bukan karena iklannya yang luar biasa namun memang ‘barang dagangan’ itu kualitasnya dijaga betul. Inilah yang membedakan. Sedangkan partai lain lebih mengandalkan keyakinan tentang kekuatan mereka tanpa melihat investasi apa yang sudah mereka tanam.

Peta politik semacam ini memang menarik dan sangat dimungkinkan akan ada perubahan suara pada pemilu 2009 mendatang. Khusus untuk Partai Demokrat, menurut Prof Budhisantoso (Ketua Umum Partai Democrat) disiapkan sebagai kendaraan SBY menuju presiden. Sebuah pernyataan jujur tetapi sangat ironis. Kenapa demikian? Karena mereka mendirikan partai bukan karena visi membangun bangsa namun lebih karena kepentingan individual/kelompok dan hal ini yang tidak dibaca jeli oleh konstituen atau rakyat. Alasan ini harus segera dirubah agar wakil-wakil yang duduk diparlemen tidak hanya berkutat pada sosok namun lebih pada pembelaan kepentingan masyarakat luas.

Eksistensi Partai Politik


Lalu bagaimana caranya agar tidak setiap pemilu muncul partai yang kemudian mereka dapat suara banyak dan pada pemilu berikutnya rontok?. Sah-sah saja setiap individu mendirikan partai karena memang dijamin undang-undang. Tapi setidaknya pemilih mempertimbangkan aspek sebab musabab sebuah partai didirikan. Diperlukan roh atau semangat pendirian partai tidak hanya digunakan sesaat seperti kepentingan sekelompok orang untuk menduduki jabatan, meraih dana partai atau memanfaatkan tokoh yang “teraniaya’. Ada 3 hal substansial yang semangatnya perlu diperhatikan oleh pemilih. Pertama soal Visi Misi Partai Politik. Meskipun visi misi ini tertulis dalam AD/ART partai tetapi masyarakat tidak mudah mendapatkannya. Mereka harus aktif kesana kemari mencari dan mencari.

Belum menjadi sebuah tradisi bagi partai politik (minimal) pada saat kampanye, sebenarnya yang mereka jual itu visi misi, paradigma, konsep, program kerja jika mereka berkuasa. ‘Jualan’ paling laku yang dilihat soal tokoh, undian berhadiah, pembagian sembako dan goyang ngebor.  Kedua kiprah partai politik. Partai politik yang modern memaknai selama masa 4 tahun sebelum pemilu itulah justru kampanye paling efektif. Yang kita lihat PKS sangat jeli memanfaatkan momentum ini. Jika ada bencana kadernya langsung turun membantu. Kesempatan inilah yang tidak dimanfaatkan kader partai lain yang duduk dianggota dewan. Wakil rakyat itu lebih disibukkan membahas kunjungan kerja, studi banding, kenaikan gaji dan hal-hal yang menyangkut kesejahteraan anggota dewan. Tidak pernah ada perdebatan dewan di tahun pertama dilantik, ribut soal minimnya dana pendidikan, pengentasan kemiskinan, mencari investor yang mampu menampung tenaga kerja banyak.

Ketiga tentang pendirian partai politik. Partai baru atau yang lama diperbarui selalu dibentuk menjelang saat pemilu. Dan partai yang tidak lolos seleksipun kemudian hilang begitu saja ditelan bumi. Belum ada partai yang didirikan sehabis pemilu lalu mereka bekerja diluar parlemen, menjadi oposisi dan menjelang pemilu mendaftarkan diri. Di sini masyarakat akan melihat sumbangsih, komitmen, keberpihakan partai bersangkutan. Bisa dilihat tidak lebih dari 25 persen yang ikut pemilu 2004 adalah partai yang tahun 1999 ikut bertarung. Dan tahun depan jumlah partai juga membengkak dari 24 menjadi 44. Mestinya pendirian partai itu lebih untuk meneguhkan komitmen mereka bagi kepentingan masyarakat banyak dan bukannya kepentingan kelompok, apalagi untuk jangka waktu pendek seperti jadi presiden.

Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo



Rabu, 29 Oktober 2008

MEMETAKAN PARTAI POLITIK PENGUSUNG CAPRES

|0 komentar
Pelaksanaan pemilihan umum 2004 memberikan gambaran pada kita semua telah terjadi perubahan besar-besaran suara partai peserta pemilu. Banyak prediksi-prediksi perolehan suara yang meleset. Meskipun prediksi itu ditargetkan oleh ketua umum partai politik pada saat kampanye. Hasil inilah yang membuat partai kelabakan karena diluar perkiraan mereka sendiri. Yang justru diuntungkan adalah 2 partai yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang hingga kini masuk 6 besar dibawah Partai Demokrat yang juga termasuk ‘barang’ baru. Penurunan cukup tajam dialami oleh Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai lama (kecuali Partai Golkar) diberbagai tingkatan. Paling tidak bagi PDIP banyak kehilangan suara dibeberapa Kabupaten/Kota (Jawa Tengah) meski di Kabupaten Kebumen dan Kota Solo nampaknya ada pengecualian. Oleh Pramono Anung (Wakil Sekjen DPP PDIP) dinyatakan inilah konstituen riil partai moncong putih itu. Sementara Megawati menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa PDIP hanya kekurangan suara.

Tak terasa 1 tahun terakhir ini masyarakat akan kembali dikotak-kotakkan oleh pengamat politik, pooling, pengurus partai untuk menentukan siapa Presiden mendatang. Akankah kita juga larut dalam perdebatan dengan teman kita sekantor, ayah kita, saudara kita untuk membela mati-matian siapa calon yang akan kita dukung. Haruskah kita larut melihat permainan itu atau justru kita (dengan hati nurani) membuat pertimbangan siapa capres yang akan kita pilih tahun 2009 nanti. Saat ini semua media banyak menayangkan sandiwara aktor politik yang terlihat piawai bersandiwara melakukan silaturahmi sana, datang ke sini dan membuat pernyataan soal pasangan-pasangan itu. Belum lagi iklan politik di media elektronik begitu mempesona. Ada Prabowo, Sutrisno Bahir, Wiranto, SBY serta dari calon independen Rizal Malarangeng.

Tidakkah mereka belajar bahwa sikap rakyat jelas, bukan uang yang menentukan pilihan, bukan iklan di televisi yang membuat kita rela memilih atau juga bukan karena sembako rakyat akan memutuskan. Rakyat sudah banyak belajar dengan ‘sinetron’ yang episodenya memang tak pernah berakhir. Sebenarnya sederhana tuntutan masyarakat itu. Kalau capres-capres itu bersaing dengan kebajikan dan membuat negara ini damai dan ada peningkatan kesejahteraan tentu pilihan rakyat tak akan berpindah. Sayangnya semua itu hanya jargon kampanye yang susah dilihat buktinya. Pada akhirnya masyarakat susah mempercayai dengan apa yang mereka lihat di televisi, mereka dengar di radio dan mereka baca di Koran.

Kembali ke permasalahan awal, dari pengalaman pemilu sebelumnya atau paling tidak 3 periode pemilu yaitu tahun 1997, tahun 1999 serta tahun 2004 ini terlihat ada fenomena menarik yang kalau kita perhatikan ada pola pemilih dalam hal menentukan pilihan partai politik. Rakyat cenderung memilih partai atau tokoh partai yang ‘teraniaya’ oleh struktur atau regim yang berkuasa. Partai atau tokohnya yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pemegang kekuasaan. Dalam setiap pemilu bisa dilihat ada 4 elemen pemilih yang bisa disebut rentan berpindah pilihan atau sulit diprediksi pilihannya (Swing Voters). Pertama pemilih baru. Mereka relatif belum punya gambaran soal track record partai. Di sisi lain, pendidikan politik di Indonesia ini tidak bisa berjalan secara normal sehingga pemilih baru harus tanya sana sini untuk menentukan pilihan. Dia tidak dibekali pisau analisis yang tajam untuk membedah persoalan yang ada. Maka wajar saja pilihan mereka akan mengikuti tren. Kebanyakan dari mereka adalah anak SMU atau pemuda yang belum matang.

Kedua pemilih rasional. Mereka ini cenderung mudah berpindah-pindah pilihan karena kecewa dengan kebijakan partai yang dulunya sudah mereka pilih. Kebanyakan dari kelompok ini yakni kelas menengah berpendidikan. Potakan yang digunakan biasanya kebijakan partai dalam mensikapi persoalan. Pengaruh pemilih rasional lebih ditentukan oleh kiprah fraksi atau anggota dewan yang ada diparlemen. Makanya tidak heran kalau dibeberapa kota pemilih ini mudah terbang ke partai yang lain. Ketiga adalah pemilih yang terkena dampak kebijakan. Kebanyakan wujudnya kelompok karena rasa solidaritas. Misalkan masyarakat yang terkena penggusuran, buruh yang terkena PHK, pedagang kaki lima yang direlokasi dan lain sebagainya. Suara mereka akan mempengaruhi perolehan partai yang mampu mendudukkan kadernya sebagai walikota, bupati atau gubernur. Kelompok ini sikapnya jelas dan bila mereka tersingkirkan maka saluran politiknya akan berpindah.

Keempat, kader-kader partai yang kecewa baik karena atas penyusunan DCS (daftar caleg sementara) partai, tokoh partai yang pindah partai ataupun konflik internal partai. Keempat factor ini harus dicermati secara jeli sehingga prediksi perolehan suara tak akan meleset jauh dan imbasnya pada target perolehan suara.

Citra Partai politik

Sebenarnya kalau kita mau melihat pemilu tahun 1997, 1999 dan 2004 dapat dibaca kecenderungan perpindahan itu. Pada tahun 1997 ada kampanye besar-besaran yang dilakukan oleh Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan Solo, Mudrick Sangidoe tentang Mega Bintang yang kemudian menjadi menasional. Kebetulan tahun 1996 terjadi apa yang dikenal tragedi 27 Juli. Mega digulingkan secara tidak sah oleh regim Orde Baru dan Mudrick mempunyai alat kampanye jitu dengan Mega Bintangnya. Dia menangkap ada jutaan pemilih yang pasti akan golput maka dia manfaatkan kesempatan itu agar suara tidak sia-sia. Bisa dilihat perolehan PPP tahun 1997 sangat signifikan. Pada saat itu Mega belum mempunyai kendaraan politik yang dapat ikut pemilu. Begitu tahun 1999, masuk era multi partai, kelompok Megawati menyerukan kader banteng kembali ke kandang.

Saat itu konstituen belum lupa, bahwa Mega jelas “disingkirkan” oleh Soeharto dan PDIP akhirnya mampu membuktikan diri sebagai pemenang pemilu. Sayangnya, memasuki tahun  2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempunyai kendaraan sendiri malah disingkirkan dari kabinet oleh Mega. Awalnya dari perkataan Mega yang mengatakan menteri yang mencapreskan diri harus mundur karena tidak etis. Ditambahi dengan kata ‘anak kecil’ oleh Taufik Kiemas. Puncaknya, sewaktu SBY merasa tidak dilibatkan dalam koordinasi menghadapi pemilu dan mengajukan surat pertanyaan, Mega tak segera menjawabnya. Inilah akibat yang harus diterima, suara PDIP merosot dan Partai Demokrat menggeser partai-partai yang lebih mapan. Masyarakat memilih Partai Demokrat lebih dikarenakan SBY nya dan bukan karena platform partai. Hal ini berbeda dengan Partai Keadilan Sejahtera yang juga mendapat suara secara signifikan.

Perolehan suara yang tajam pada partai pimpinan Hidayat Nur Wahid ini lebih dikarenakan citra. Bahkan di DKI Jakarta, PKS mampu menjadi The Winner dengan mendudukkan 18 kadernya di dewan. Sepertinya kita mafhum mengenai sepak terjang anggota DPRD dari partai ini bisa diandalkan. Mereka menolak dana purna bhakti, menolak dana bantuan parpol hingga menjelang pemilu calegnya diberbagai wilayah bersedia melakukan kontrak politik. Cara berpolitik yang baru dan sangat diharapkan oleh rakyat. Partai ini besar bukan karena Hidayat, bukan karena idiologinya, bukan karena iklannya yang luar biasa namun memang ‘barang dagangan’ itu kualitasnya dijaga betul. Inilah yang membedakan. Sedangkan partai lain lebih mengandalkan keyakinan tentang kekuatan mereka tanpa melihat investasi apa yang sudah mereka tanam.

Peta politik semacam ini memang menarik dan sangat dimungkinkan akan ada perubahan suara pada pemilu 2009 mendatang. Khusus untuk Partai Demokrat, menurut Prof Budhisantoso (Ketua Umum Partai Democrat) disiapkan sebagai kendaraan SBY menuju presiden. Sebuah pernyataan jujur tetapi sangat ironis. Kenapa demikian? Karena mereka mendirikan partai bukan karena visi membangun bangsa namun lebih karena kepentingan individual/kelompok dan hal ini yang tidak dibaca jeli oleh konstituen atau rakyat. Alasan ini harus segera dirubah agar wakil-wakil yang duduk diparlemen tidak hanya berkutat pada sosok namun lebih pada pembelaan kepentingan masyarakat luas.

Eksistensi Partai Politik

Lalu bagaimana caranya agar tidak setiap pemilu muncul partai yang kemudian mereka dapat suara banyak dan pada pemilu berikutnya rontok?. Sah-sah saja setiap individu mendirikan partai karena memang dijamin undang-undang. Tapi setidaknya pemilih mempertimbangkan aspek sebab musabab sebuah partai didirikan. Diperlukan roh atau semangat pendirian partai tidak hanya digunakan sesaat seperti kepentingan sekelompok orang untuk menduduki jabatan, meraih dana partai atau memanfaatkan tokoh yang “teraniaya’. Ada 3 hal substansial yang semangatnya perlu diperhatikan oleh pemilih. Pertama soal Visi Misi Partai Politik. Meskipun visi misi ini tertulis dalam AD/ART partai tetapi masyarakat tidak mudah mendapatkannya. Mereka harus aktif kesana kemari mencari dan mencari.

Belum menjadi sebuah tradisi bagi partai politik (minimal) pada saat kampanye, sebenarnya yang mereka jual itu visi misi, paradigma, konsep, program kerja jika mereka berkuasa. ‘Jualan’ paling laku yang dilihat soal tokoh, undian berhadiah, pembagian sembako dan goyang ngebor.  Kedua kiprah partai politik. Partai politik yang modern memaknai selama masa 4 tahun sebelum pemilu itulah justru kampanye paling efektif. Yang kita lihat PKS sangat jeli memanfaatkan momentum ini. Jika ada bencana kadernya langsung turun membantu. Kesempatan inilah yang tidak dimanfaatkan kader partai lain yang duduk dianggota dewan. Wakil rakyat itu lebih disibukkan membahas kunjungan kerja, studi banding, kenaikan gaji dan hal-hal yang menyangkut kesejahteraan anggota dewan. Tidak pernah ada perdebatan dewan di tahun pertama dilantik, ribut soal minimnya dana pendidikan, pengentasan kemiskinan, mencari investor yang mampu menampung tenaga kerja banyak.

Ketiga tentang pendirian partai politik. Partai baru atau yang lama diperbarui selalu dibentuk menjelang saat pemilu. Dan partai yang tidak lolos seleksipun kemudian hilang begitu saja ditelan bumi. Belum ada partai yang didirikan sehabis pemilu lalu mereka bekerja diluar parlemen, menjadi oposisi dan menjelang pemilu mendaftarkan diri. Di sini masyarakat akan melihat sumbangsih, komitmen, keberpihakan partai bersangkutan. Bisa dilihat tidak lebih dari 25 persen yang ikut pemilu 2004 adalah partai yang tahun 1999 ikut bertarung. Dan tahun depan jumlah partai juga membengkak dari 24 menjadi 44. Mestinya pendirian partai itu lebih untuk meneguhkan komitmen mereka bagi kepentingan masyarakat banyak dan bukannya kepentingan kelompok, apalagi untuk jangka waktu pendek seperti jadi presiden.

Jumat, 24 Oktober 2008

Polemik Galabo, Dibiarkan atau Dibenahi?

|0 komentar
Gladak Langen Bogan atau lebih dikenal dengan Galabo merupakan tempat wisata kuliner baru di Kota Solo. Bila kita cermati dalam 6 bulan terkahir, lokasi itu ramai dikunjungi wisatawan yang ingin memanjakan lidah mereka. Baik wisatawan local maupun domestic banyak berdatangan untuk menikmati hidangan khas dari Solo. Ratusan sepeda motor dan puluhan mobil berjajar ditemat parkir di seputaran gladak mengantar sang pemilik menyantap makanan yang disajikan. Pusat kuliner baru itu nyaris tak pernah sepi dari pengunjung. Namun beberapa hari terakhir ini, berbagai media di Kota Solo mengupas kontroversi seputar pungutan retribusi ditempat itu. Data yang disajikanpun sangat mengejutkan, dana yang ditarik dari pedagang ternyata tak disetorkan ke Pemkot Solo alias dinikmati oleh pengelola.

Siapa pengelola, dari mana dia mendapat mandate dan atas dasar apa sekelompok orang mengatasnamakan pengelola dapat memungut retribusi pedagang. Berdasar statement dari plt Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindag & PM) Saryanto Joko Pangarso, sudah ada ada kesepakatan awal antara Pengelola dengan Pemkot bahwa pendapatan Galabo merupakan hak pengelola sepenuhnya (Solopos, 21/10/08). Disitu tidak ada kesepakatan hitam putih perjanjian pelimpahan pengelolaan. Disamping itu, muncul pertanyaan, Pemkot akan mendapat keuntungan apa. Sungguh hal yang aneh. Berdasarkan data yang didapat dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) Kota Surakarta Tahun Anggaran 2007 disebutkan, untuk pengadaan fasilitas di Galabo menghabiskan dana lebih dari Rp 1 milyar. Sebagian dana itu digunakan untuk Kanopi, gerobak, meja kayu, toilet berjalan, pengadaan pakaian kerja lapangan dan lain sebagainya (lihat table 1). Hal itu menandakan bahwa anggaran yang dipakai tentu saja memakai APBD alias dana publik.
Selain mendapat fasilitas yang lumayan, para pedagang masih mendapat keistimewaan yang lain diantaranya penutupan akses jalan, pengamanan yang lebih ketat, pengaturan arus lalu lintas yang melibatkan DLLAJ dan fasilitas tambahan lain. Bandingkan dengan beberapa lokasi para pedagang kaki lima (PKL) yang dibiarkan begitu saja misalnya dikawasan timur Solo Square, belakang stadion Manahan bahkan PKL di city walk serta kawasan lain. Mereka tidak mendapat keistimewaan yang lain. Artinya perbedaan perlakuan atau diskriminasi ini menimbulkan berbagai pertanyaan dikalangan pelaku usaha sendiri. Seharusnya Pemkot tidak membedakan pelaku usaha agar perkembangan ke depan tidak menyimpan konflik.

Potensi pemasukan yang bisa didapat Pemkot dari Galabo sendiri sebenarnya cukup besar. Setidaknya perbulan tiap pedagang mengeluarkan anggaran Rp 528.000 (lihat table 2). Bila dikalikan jumlah pedagang yang mencapai jumlah 75 pedagang akan ada potensi Rp 39.600.000 atau Rp 475.000.000 untuk 1 tahun. Bandingkan dengan pemasukan dari para PKL yang perhari pungutannya Rp 400 – Rp 500/hari. Bila dihitung, akan dibutuhkan 2.638 PKL yang harus ditarik tiap harinya untuk mencapai pendapatan yang sama. Dengan jumlah 5.817 PKL, berarti pemasukan Galabo mencapai separuhnya. Pedagang Galabo sendiri tidak menolak pungutan dari pengelola meskipun mengetahui tarikan bulanan itu tidak memakai karcis resmi Pemkot.



Sementara itu jika kita mencoba mengkalkulasi keuntungan yang didapat pengelola, mereka mendapat keuntungan yang luar biasa. Perbulannya bisa mencapai Rp 12.875.000. Tentu keuntungan yang tidak cukup kecil karena pekerja pendorong gerobak dan tenaga kebersihan sudah mendapat upah harian. Perhitungan ini didapat dari total pemasukan 75 pedagang dari retribusi dan biaya tambahan listrik sebesar Rp 34.875.000 sedangkan pengeluarannya hanya 22.000.000 (lihat table 3). Apakah kejadian ini tidak menginsirasi masyarakat melakukan hal yang sama? Memakai fasilitas umum, meminta sarana pada Pemkot untuk berdagang, menutup jalan kemudian memungut tariff tiap bulan untuk mendapat keuntungan.

Berdasarkan penjelasan diatas, jelas tergambarkan bahwa ada berbagai kejanggalan dalam proses pungutan di Galabo. Setidaknya ada 3 langkah yang harus dilakukan Walikota yakni, pertama, mengadakan perjanjian resmi/kontrak kerja dengan pengelola. Hal ini demi ketertiban administrasi serta mengantisipasi potensi penyelewengan kewenangan yang dimiliki walikota. Kedua, meminta pengelola segera menyetor pendapatan yang didapat pengelola ke kas daerah. Karena semakin hari tentunya dana yang didapat pengelola semakin banyak padahal fasilitas benar-benar disediakan oleh Pemkot. Ketiga, menjelaskan pada masyarakat atas apa yang terjadi dengan pola pengelolaan Galabo. Sebab dengan penyediaan fasilitas dari Pemkot, harusnya ada kerjasama yang jelas sehingga ada transparansi pendapatan dan perlakuan sama antar pelaku usaha terutama usaha kecil dan menengah. Tugas Pemkot adalah membina dan mengangkat usaha kecil agar mencapai kesejahteraannya. Niatan baik kadangkala memang harus diawasi agar tidak dimanfaatkan sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi.

Apabila hal ini diabaikan, berpotensi melanggar UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (4), UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 66 ayat (1) dan pasal 66 ayat (3), PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 4 ayat (1) serta Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 4 ayat (1). Dalam pasal 3 ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 (juga UU No 33/2004 ps 66 ayat (3)) dinyatakan bahwa “APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.” Dalam klausul penjelasan disebutkan bahwa Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Negara/daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Sedangkan pasal 66 ayat (3) UU 33/2004 (juga Ps 4 ayat (1) PP No 58/2005 dan permendagri 13/2006) disebutkan “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”. Pada penjelasan disebutkan Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya. Artinya pengguna anggaran tidak bisa seenaknya mengalokasikan dana APBD sekehendak sendiri. Kalau demikian, apakah persoalan akan dibiarkan begitu saja pak Wali?

Polemik Galabo, Dibiarkan atau Dibenahi?

|0 komentar
Oleh : M Histiraludin*)

Gladak Langen Bogan atau lebih dikenal dengan Galabo merupakan tempat wisata kuliner baru di Kota Solo. Bila kita cermati dalam 6 bulan terkahir, lokasi itu ramai dikunjungi wisatawan yang ingin memanjakan lidah mereka. Baik wisatawan local maupun domestic banyak berdatangan untuk menikmati hidangan khas dari Solo. Ratusan sepeda motor dan puluhan mobil berjajar ditemat parkir di seputaran gladak mengantar sang pemilik menyantap makanan yang disajikan. Pusat kuliner baru itu nyaris tak pernah sepi dari pengunjung. Namun beberapa hari terakhir ini, berbagai media di Kota Solo mengupas kontroversi seputar pungutan retribusi ditempat itu. Data yang disajikanpun sangat mengejutkan, dana yang ditarik dari pedagang ternyata tak disetorkan ke Pemkot Solo alias dinikmati oleh pengelola.

Siapa pengelola, dari mana dia mendapat mandate dan atas dasar apa sekelompok orang mengatasnamakan pengelola dapat memungut retribusi pedagang. Berdasar statement dari plt Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindag & PM) Saryanto Joko Pangarso, sudah ada ada kesepakatan awal antara Pengelola dengan Pemkot bahwa pendapatan Galabo merupakan hak pengelola sepenuhnya (Solopos, 21/10/08). Disitu tidak ada kesepakatan hitam putih perjanjian pelimpahan pengelolaan. Disamping itu, muncul pertanyaan, Pemkot akan mendapat keuntungan apa. Sungguh hal yang aneh. Berdasarkan data yang didapat dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) Kota Surakarta Tahun Anggaran 2007 disebutkan, untuk pengadaan fasilitas di Galabo menghabiskan dana lebih dari Rp 1 milyar. Sebagian dana itu digunakan untuk Kanopi, gerobak, meja kayu, toilet berjalan, pengadaan pakaian kerja lapangan dan lain sebagainya (lihat table 1). Hal itu menandakan bahwa anggaran yang dipakai tentu saja memakai APBD alias dana publik.

Tabel 1
Penggunaan Dana Untuk Fasilitas Galabo

No    Pengadaan Pusat Jajanan Malam    Nominal
1    Kanopi Shelter    Rp     920.000.000,00
2    Pengadaan Grobak    Rp     118.200.000,00
3    Pengadaan Meja Kayu    Rp       35.000.000,00
4    Toilet Berjalan    Rp       96.750.000,00
    Jumlah    Rp  1.169.950.000,00
Sumber : LHP BPK Kota Surakarta TA 2007

Selain mendapat fasilitas yang lumayan, para pedagang masih mendapat keistimewaan yang lain diantaranya penutupan akses jalan, pengamanan yang lebih ketat, pengaturan arus lalu lintas yang melibatkan DLLAJ dan fasilitas tambahan lain. Bandingkan dengan beberapa lokasi para pedagang kaki lima (PKL) yang dibiarkan begitu saja misalnya dikawasan timur Solo Square, belakang stadion Manahan bahkan PKL di city walk serta kawasan lain. Mereka tidak mendapat keistimewaan yang lain. Artinya perbedaan perlakuan atau diskriminasi ini menimbulkan berbagai pertanyaan dikalangan pelaku usaha sendiri. Seharusnya Pemkot tidak membedakan pelaku usaha agar perkembangan ke depan tidak menyimpan konflik.

Potensi pemasukan yang bisa didapat Pemkot dari Galabo sendiri sebenarnya cukup besar. Setidaknya perbulan tiap pedagang mengeluarkan anggaran Rp 528.000 (lihat table 2). Bila dikalikan jumlah pedagang yang mencapai jumlah 75 pedagang akan ada potensi Rp 39.600.000 atau Rp 475.000.000 untuk 1 tahun. Bandingkan dengan pemasukan dari para PKL yang perhari pungutannya Rp 400 – Rp 500/hari. Bila dihitung, akan dibutuhkan 2.638 PKL yang harus ditarik tiap harinya untuk mencapai pendapatan yang sama. Dengan jumlah 5.817 PKL, berarti pemasukan Galabo mencapai separuhnya. Pedagang Galabo sendiri tidak menolak pungutan dari pengelola meskipun mengetahui tarikan bulanan itu tidak memakai karcis resmi Pemkot.

Tabel 2
Beban Tiap Pedagang/bl
No    Pengeluaran    Nominal/hari    Perbulan
1    Retribusi    Rp 15.000,00    Rp  450.000,00
2    Tambahan Listrik    Rp 500,00    Rp    15.000,00
3    Uang Kebersihan        Rp    10.000,00
4    PPn        Rp    53.000,00
    Jumlah        Rp  528.000,00
Sumber : Solopos, 20 Oktober 2008

Sementara itu jika kita mencoba mengkalkulasi keuntungan yang didapat pengelola, mereka mendapat keuntungan yang luar biasa. Perbulannya bisa mencapai Rp 12.875.000. Tentu keuntungan yang tidak cukup kecil karena pekerja pendorong gerobak dan tenaga kebersihan sudah mendapat upah harian. Perhitungan ini didapat dari total pemasukan 75 pedagang dari retribusi dan biaya tambahan listrik sebesar Rp 34.875.000 sedangkan pengeluarannya hanya 22.000.000 (lihat table 3). Apakah kejadian ini tidak menginsirasi masyarakat melakukan hal yang sama? Memakai fasilitas umum, meminta sarana pada Pemkot untuk berdagang, menutup jalan kemudian memungut tariff tiap bulan untuk mendapat keuntungan.

Table 3
Keuntungan Pengelola Tiap Bulan

No    Item    Satuan/bl    Unit    Sub total    Total
    Pemasukan
1    Retribusi    450.000,00    75 pedagang    33.750.000,00   
2    Tambahan listrik    15.000,00    75 pedagang    1.125.000,00   
    Jumlah                34.875.000,00
    Pengeluaran
1    Penitipan gerobak    60.000,00    75 pedagang    4.500.000,00   
2    Upah pendorong gerobak    600.000,00    12 orang    7.200.000,00   
3    Upah tenaga kebersihan    600.000,00    8 orang    4.800.000,00   
4    Biaya Listrik    5.000.000,00        5.000.000,00   
5    Biaya air    500.000,00        500.000,00   
    Jumlah                22.000.000,00
    Keuntungan                12.875.000,00
Sumber : Solopos, 20 Oktober 2008


Berdasarkan penjelasan diatas, jelas tergambarkan bahwa ada berbagai kejanggalan dalam proses pungutan di Galabo. Setidaknya ada 3 langkah yang harus dilakukan Walikota yakni, pertama, mengadakan perjanjian resmi/kontrak kerja dengan pengelola. Hal ini demi ketertiban administrasi serta mengantisipasi potensi penyelewengan kewenangan yang dimiliki walikota. Kedua, meminta pengelola segera menyetor pendapatan yang didapat pengelola ke kas daerah. Karena semakin hari tentunya dana yang didapat pengelola semakin banyak padahal fasilitas benar-benar disediakan oleh Pemkot. Ketiga, menjelaskan pada masyarakat atas apa yang terjadi dengan pola pengelolaan Galabo. Sebab dengan penyediaan fasilitas dari Pemkot, harusnya ada kerjasama yang jelas sehingga ada transparansi pendapatan dan perlakuan sama antar pelaku usaha terutama usaha kecil dan menengah. Tugas Pemkot adalah membina dan mengangkat usaha kecil agar mencapai kesejahteraannya. Niatan baik kadangkala memang harus diawasi agar tidak dimanfaatkan sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi.

Apabila hal ini diabaikan, berpotensi melanggar UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (4), UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 66 ayat (1) dan pasal 66 ayat (3), PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 4 ayat (1) serta Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 4 ayat (1). Dalam pasal 3 ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 (juga UU No 33/2004 ps 66 ayat (3)) dinyatakan bahwa “APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.” Dalam klausul penjelasan disebutkan bahwa Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Negara/daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Sedangkan pasal 66 ayat (3) UU 33/2004 (juga Ps 4 ayat (1) PP No 58/2005 dan permendagri 13/2006) disebutkan “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”. Pada penjelasan disebutkan Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya. Artinya pengguna anggaran tidak bisa seenaknya mengalokasikan dana APBD sekehendak sendiri. Kalau demikian, apakah persoalan akan dibiarkan begitu saja pak Wali?


Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo
No Kontak 08122514473
Update 24 Oktober 2008