Kamis, 12 Mei 2005

HATI-HATI PILIH KEPALA DAERAH!

|0 komentar
Oleh Muhammad Histiraludin
Bulan Juni hingga Desember tahun 2005, masyarakat Jawa Tengah akan disibukkan dengan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dibeberapa wilayah. Setidaknya akan ada 17 Kabupaten/Kota yang segera memulai penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut. Dimulai dari Kota Pekalongan, Kabupaten Kebumen (5 Juni), Kota Semarang (26 Juni) sampai Kabupaten Pemalang (Akhir tahun ini). Pesta demokrasi ini merupakan sesuatu yang baru bagi kehidupan rakyat yang selama ini telah terbelenggu regim orde baru. Yang jelas pemilihan langsung kepala daerah memang baru pertama kali terselenggara dan tentunya akan banyak kelemahan disana sini.

Persoalan dana yang hingga saat ini pembagiannya belum jelas, berapa persen proporsi pemerintah pusat dan berapa persen proporsi APBD menambah beban pemerintah daerah. Belum lagi munculnya Perpu 3/2005 dan PP 17/2005 untuk merubah beberapa pasal di UU 32 Tahun 2005 dan PP 6/2005 (sesuai putusan Mahkamah Konstitusi) menambah daftar panjang persoalan yang harus dihadapi terutama KPU Daerah. Kita tetap berharap, lembaga terkait mampu menghadapi masalah itu sehingga pemungutan suara dapat berlangsung sukses seperti pada Pilpres kemarin. Tidak mudah dan butuh dukungan banyak pihak supaya kecurangan-kecurangan dan konflik selama proses pemilu hingga terpilihnya kepala daerah yang baru bisa diminimalisir.

Diakui atau tidak, pencurian start kampanye berbentuk pemasangan spanduk, baliho, stiker, pemberian sembako, pelayanan kesehatan gratis merupakan pernak-pernik menjelang berlangsungnya Pilkada. Panwaskot Kota Semarang sudah tegas melakukan penertiban sedangkan Solo, Sukoharjo sejauh ini pihak terkait belum menangani secara serius dengan alasan KPUD setempat belum menetapkan pasangan calon. Biasanya tim sukses sudah bergerilya jauh-jauh hari sebelumnya sehingga pencurian start kampanye sebenarnya telah terjadi. Yang justru penting untuk diperhatikan yakni mengenai visi misi pasangan calon. Selama ini, pemaknaan visi misi hanya sebagai pelengkap dan janji-janji bagi pemilih.

VISI MISI CALON
Perlu diketahui, visi misi pasangan mulai saat ini benar-benar mempunyai makna strategis. Hal itu dapat dilihat di Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan PP nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Di UU 32/2004 Pasal 59 ayat (5) huruf j, partai politik atau gabungan partai politik saat mendaftarkan calon wajib menyerahkan naskah visi, misi dan program dari pasangan calon secara tertulis. Demikian pula di PP 6/2005 pasal 42 ayat (2) j mengenai lampiran surat pencalonan.

Langkah selanjutnya dapat disimak di UU 25/2004 Paasal 14 ayat (2). Ayat ini berbunyi “Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah sebagai penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi Pembangunan Daerah, Kebijakan Umum, Program Prioritas kepala daerah dan Arah Kebijakan Keuangan Daerah”. Artinya bahwa paparan visi misi ini mengandung konsekuensi pembangunan daerah untuk 5 tahun kedepan. Tidak hanya menjadi pemanis bibir atau janji kosong yang dilontarkan pasangan calon maupun tim sukses pada saat kampanye. Pengalaman berharga dapat dipetik waktu Pilpres. Pasangan SBY-JK pernah menyatakan tidak akan menaikkan BBM tetapi ketika terpilih, toh BBM naik juga. Namun SBY membantah pernah menyatakan hal itu.

Calon-calon hendaknya juga tidak seenaknya membuat visi misi karena pembuatan visi misi ini perlu mengacu pada beberapa hal. Dalam UU 25/2004 dijelaskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif (lihat pasal 5 ayat 2).

Tim penyusun visi misi pasangan calon perlu membuka RPJP Nasional (masih digodok di DPR), RPJM Nasional (PP nomor 7 Tahun 2005), RPJP Daerah (Perda Visi Misi propinsi dan kabupaten/kota). Diharapkan ketika visi misi ini ‘nyambung’ maka ada integrasi pengembangan kawasan. Masalahnya apakah kandidat-kandidat kepala daerah benar-benar mengetahui aturan ini? Bila tidak maka kota atau kabupaten pelaksanaan pembangunannya tidak akan terintegrasi dengan propinsi atau nasional dan mengorbankan kepentingan masyarakat luas.

HARAPAN
Masyarakat di tiap Kabupaten/Kota tentunya punya harapan besar, kepala daerah yang baru dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Tekanan minimnya lowongan kerja, minimnya gaji, tingginya kebutuhan pokok telah menjerat kehidupan mereka sehiri-hari. Wajar kiranya rakyat punya harapan lebih pada kepala daerah yang baru untuk menggeser nasib mereka ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, naskah visi misi dan program kerja menjadi ‘barang dagangan’ yang sangat vital. Rakyat dapat membaca dan mencermati hal apa saja yang akan dirubah atau diperbaiki dalam kurun 5 tahun mendatang.

Kita tidak dapat menafikkan adanya money politics, pemberian bantuan sembako, pelayanan kesehatan gratis masih menjadi ukuran penentuan pilihan. Tetapi langkah penonjolan visi misi serta program perlu terus diteriakkan pasangan calon supaya kedepan rakyat tidak berharap pada hal-hal yang karitatif. Pasangan calon bukan bidadari atau malaikat pengabul harapan. Sepersekian detik mampu mewujudkan apa yang diinginkan. Tidak mudah merubah wacana dan pandangan seperti ini apalagi ditengah kesulitan hidup masyarakat marginal.

Mewacanakan seperti apa yang tertuang didalam undang-undang memang tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tawaran menarik yang dapat dilakukan oleh rakyat, oleh pemilik suara dan objek pembangunan adalah mencermati, menganalisis dan mempertimbangkan secara masak visi misi calon kepala daerah. Apakah sesuai dengan yang diangankan mereka. Apakah tawaran visi misi sudah sesuai dengan harapan mereka? Berubahkah kesejahteraan mereka bila memilih kandidat A atau harus memilih si B meskipun bukan famili atau tetangga dekat.

Sementara itu bagi pasangan calon, hendaknya mengurangi aktivitas menarik massa yang bersifat hura-hura. Lebih baik buka ruang diskusi, public speaking, sharing untuk menjelaskan pada konstituen, apa yang akan didapat rakyat selama 5 tahun jika memilih dia. Katakan bahwa perubahan itu butuh waktu bukan hanya setahun dua tahun apalagi hanya dengan uang Rp 20.000. Pengorbanan merupakan kata kunci dan pengikat baik bagi kepala daerah dan rakyat. Yang perlu diingat pengorbanan jangan sampai menjadikan rakyat sebagai korban.

Muhammad Histiraludin, Pekerja Sosial di IPGI Solo, menulis buku Bergumul Bersama Masyarakat (2004), Koordinator Forum untuk Partisipasi Kebijakan (FPK) Solo, Alumnus 39th PDM Course Asian Institute Management (AIM) Philipina

Solo, 12 Mei 2005

Hormat Kami,


Muhammad Histiraludin

(AKANKAH) MASYARAKAT SOLO MENGGUGAT DPRD SOLO ?

|0 komentar
Oleh : Muhammad Histiraludin

Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Solo Periode 2004 – 2009 terus mendapat tantangan berat. Dari hari kehari, bulan ke bulan terus bekerja ekstra keras. Pekerjaan yang telah mereka lakukan nampaknya terus diawasi seluruh masyarakat sehingga rakyat Solo mengerti bagaimana mereka melakukan sesuatu, membahas sesuatu bahkan memutuskan sesuatu. Cobaan dan ujian terus mereka hadapi hingga kini, kita (rakyat) tidak cukup bisa merasakan kinerja mereka. Tentu banyak problem yang menghadang mereka.

Paripurna penetapan APBD 2005 mengecewakan masyarakat. Betapa tidak, jika awal pembahasan ada niatan membuat anggaran berimbang ternyata meleset jauh bahkan harus defisit Rp 18,6 M. Terakhir, keterkejutan rakyat Solo (juga keluarga mantan anggota dewan) adalah keluarnya Putusan PN Solo (22/8) terhadap kasus korupsi APBD 2003 dan mereka divonis tahanan 2 hingga 5 tahun. Mereka juga terbukti merugikan negara sehingga harus mengganti kerugian sekaligus denda yang jumlahnya puluhan sampai ratusan juta.

Kalau dilihat secara kuantitas, anggota DPRD tidak sebanyak 40 orang sesuai jumlah saat mereka dilantik tetapi kini tinggal 34 orang. Jumlah yang tidak cukup signifikan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul di Kota berpenduduk kurang lebih 500 ribu jiwa ini. Pengurangan jumlah itu cukup banyak mengingat 4 diantaranya memegang posisi kunci baik sebagai pimpinan dewan ataupun pimpinan komisi. Sementara dari sisi kualitas, belum ada penelitian secara resmi sejauh mana DPRD Solo bekerja.

Berkurangnya jumlah anggota dewan itu dikarenakan 2 hal yakni korupsi APBD Solo tahun 2003 (4 orang) dan mengundurkan diri (2 orang). Empat orang diantaranya memegang peranan penting bahkan salah satunya menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Solo. Mereka berasal dari 3 fraksi yakni Fraksi PDI Perjuangan (2 orang), Fraksi Partai Golkar (3 orang) dan dari Fraksi Partai Demokrat Keadilan (1 orang). Yang dikarenakan dugaan korupsi dan sampai saat ini kasusnya masih disidangkan secara marathon, praktis sudah tidak ngantor sejak 20 Januari dan 22 Februari lalu. Sedangkan yang mengundurkan diri (FX Hadi Rudiatmo dan Heru Notonegoro) mulai pertengahan April telah meninggalkan gedung dewan (lihat tabel). Hingga kini tidak jelas kapan PAW Rudi dan Heru akan segera dilakukan. Bahkan sekarang diduga Heru menggunakan gelar Doktor palsu bersama Jame A Pattiwael yang saat ini masih tercatat sebagai anggota DPRD (Solopos 23/8).

Sebenarnya Ketua DPRD Solo telah menyatakan kinerja dewan semakin terganggu akibat penahanan 4 orang anggota DPRD 2004 – 2009 itu (Solopos, 23/2). Yang patut disayangkan justru pernyataan Faried Badres sebagai Ketua Dewan yang menginginkan anggota DPRD periode ini supaya tidak ditahan. Padahal ketika mereka ditahan (waktu itu), semakin membuktikan bahwa wakil rakyat harus siap menanggung resiko dari kegiatan politik mereka. Keikhlasan mereka menjalani seluruh proses bisa dijadikan pembelajaran politik rakyat serta wujud pertanggungjawaban dan tidak akan menganggu tugas-tugas kedewanan dimasa mendatang. Tidak hanya itu, posisi sebagai terpidana tentu membutuhkan konsentrasi dalam menghadapi persidangan dan pembelaan di meja hijau yang akan membutuhkan energi dan curahan pikiran yang dimiliki oleh mereka

Tidak Jalankan Kewajiban
Bila mencermati berkurangnya anggota dewan itu, maka kita coba buka tentang fungsi, tugas dan wewenang, kewajiban serta hak anggota DPRD. Dalam Undang-undang nomor 22 Tahun 2003 Tentang Sususnan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 77 serta PP nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD pasal 19 ayat (1) c tertulis DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Tentunya ketiga fungsi itu tidak bisa berjalan secara optimal. Pembahasan APBD kemarin saja mereka sudah tidak bisa terlibat apalagi agenda kedepan. Kemudian soal Tugas dan Wewenang, pada pasal 78 huruf c (UU 22/2003) dan pasal 20 ayat (1) c (PP 25/2004) berbunyi “Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, Keputusan Bupati/Walikota, APBD, Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional didaerah”.

Mengenai kewajiban, nampaknya mereka juga sudah tidak bisa menjalankannya, padahal kewajiban yang tercantum di pasal 81 (UU 22/2003) dan pasal 36 (PP 25/2004) huruf f dan h sangat vital. Pada huruf f tertulis “menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat” serta huruf h menyatakan “memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.”
Pada posisi ini, yang dirugikan secara langsung adalah masyarakat tertutama dari Daerah Pemilihan mana mereka berasal. Masyarakat  tidak bisa lagi menyampaikan aspirasinya kepada orang yang sudah dipilih. Lantas kemana konstituen ini menyalurkan aspirasinya?

Yang cukup menyakitkan kita adalah, selama mereka sedang menjalani proses persidangan dan tidak dapat menjalankan tugas, fungsi ataupun kewajibannya sesuai aturan diatas, anggota dewan tetap menerima hak keuangan dan administrasi sampai dengan adanya putusan pengadilan tetap (lihat pasal 106 ayat (6) UU 22/2003). Berarti mereka masih tetap menikmati dana yang dipungut dari masyarakat tanpa menjalankan kewajibannya. Sedangkan disisi yang lain, masyarakat marginal, sector pendidikan, sector kesehatan harus berebutan akses anggaran dari APBD, tentu saja ini  sangat ironis.

Berdasarkan UU 22/2003 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (Pasal 94 ayat 2 (e)), UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 55 ayat 2 (F)) dan PP 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Pasal 15 ayat (e)) berbunyi “dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya 5 tahun penjara”. Berarti bagi Partai Golkar Solo harus segera mengganti Yusuf Hidayat. Bagi yang lainnya selayaknya juga diganti karena apabila tidak, mereka akan menikmati gaji tanpa bekerja selama 2 tahun (bila menerima keputusan PN Solo).

Bagaimana bila mengajukan banding? Tentu akan memakan waktu lama dan mereka tetap menikmati fasilitas gaji Rp 4.387.950/orang/bulan (asumsinya bagi anggota bukan pimpinan). Sejak ditahan pun (6 bulan lalu) mereka sudah makan gaji buta. Prinsip mengedepankan praduga tak bersalah bisa saja diterapkan tetapi bila sekarang sudah ada putusan apa tidak selayaknya pemberian gaji bagi mereka ditinjau kembali oleh pimpinan dewan. Nurani pimpinan partai rupanya sedang diuji terutama bagi Hadi Rudyatmo sebagai Ketua DPC PDIP yang saat kampanye gembar gembor Berseri Tanpa Korupsi. Beranikah mewujudkannya di partai politik yang dipimpinnya?

Melihat kondisi-kondisi seperti ini, apa sikap yang harus segera dilakukan baik oleh pimpinan DPRD Solo ataupun partai darimana mereka berasal. Masyarakat  ataupun konstituen mereka tentunya mempunyai rasa gundah gulana melihat persoalan ini. Kenapa? Karena otomatis wakil-wakil mereka tidak secara penuh melakukan apa yang sudah dimandatkan. Dari 34 anggota dewan yang tersisapun, masih ada 6 orang lagi yang menjadi tersangka dugaan korupsi APBD 2003. Mereka berasal dari PDIP (4 orang, salah satunya menjadi Ketua DPRD saat ini), PKS dan PAN masing-masing 1 orang. Enam orang ini (yang berkasnya sedang diperbaiki Kejari Solo), dalam bekerja mungkin gelisah sebab siapa yang bisa menjamin bahwa tidak ada penahanan sementara ketika berkas itu dilimpahkan ke PN Solo seperti 4 rekan mereka?

Karena itu perlu dipertimbangkan tindakan-tindakan yang tidak merugikan semua pihak. Pertama, Pimpinan DPRD perlu menyatakan secara tegas sikap mereka bahwa meskipun jumlah DPRD berkurang 6 orang namun tugas-tugasnya harus segera diemban oleh yang lain. Minimal Pimpinan Dewan meminta komisi yang kehilangan unsure pimpinan komisi untuk segera menunjuk pejabat komisi sementara. Kedua, sudah selayaknyalah fraksi bersangkutan terutama partai darimana anggota dewan tersebut berasal mengambil tindakan dan segera memproses pergantian antar waktu dengan berkoordinasi dengan KPU. Ketiga, masyarakat  sebagai pemilik suara hendaknya mempertimbangkan untuk mendiamkan atau justru ‘menggugat’ wakil mereka tersebut. Sebab masih ada agenda yang penting yang harus dituntaskan mereka seperti pembahasan Perda Struktur Organisasi Perangkat Daerah (Sesuai PP No 8 Tahun 2003), Penyusunan Arah Kebijakan Umum (UU No 17 Tahun 2003), Pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJM Daerah (UU No 25 Tahun 2004). Kalau tidak, maka pihak yang paling utama dirugikan adalah masyarakat.

Daftar Anggota DPRD Solo Periode 2004-2009 Yang Ditahan dan Mengundurkan Diri
No    Nama    Posisi    Partai    Keterangan
1    Yusuf Hidayat    Wakil Ketua DPRD    Golkar    Ditahan sejak 20 Januari
2    Purwono    Ketua Komisi I    PDIP    Ditahan sejak 22 Februari
3    Bandung Djoko S    Ketua Komisi III    Golkar    Idem
4    Heru Notonegoro    Wakil Ketua Komisi IV    Golkar    Mengundurkan diri
5    Hadi Rudiatmo    Anggota Komisi III    PDIP    Mengundurkan diri/Wawali
6    Darsono    Anggota Komisi III    PPP    Ditahan sejak 22 Februari
Dari berbagai sumber, diolah

Muhammad Histiraludin, Pekerja Sosial di IPGI Solo, menulis buku Bergumul Bersama Masyarakat (2004), aktif di Forum Peduli Anggaran Kota Surakarta (FPAKS), alumnus 39th PDM Course Asian Institute Management (AIM) Philipina

Solo, 12 Mei 2005

Hormat Kami,


Muhammad Histiraludin