Sabtu, 20 Maret 2004

BLOCKGRANT DAN IMPLEMENTASI

|0 komentar
Proses perencanaan pembangunan di Kota Surakarta telah mengalami perubahan besar dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini. Itu disebabkan adanya perubahan paradigma pembangunan dari top down menjadi bottom up planning. Perubahan itu dilakukan pemerintah kota sebagai wujud mandat UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pada aspek pemberdayaan daerah. Lalu pemkot dengan leading sectornya Bapeda melihat peluang bahwa perencanaan harus melibatkan seluruh stakeholders kota. Kemudian perencanaan yang mempunyai semangat nguwongke uwong ini menjadi sebuah tradisi baru dengan tahapan yang dikenal Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang. Selama 3 tahun ini sudah banyak hal yang dicapai dalam pembangunan kota yang meletakkan masyarakat sebagai subyek pembangunan.hp| AK:3 edisetujui banyak yang terpotong. Maka maklum saja ketika total dana blockgrant hanya sebesar Rp 7 miliar dan usulan yang ditampung didinas hanya sebesar Rp 4 miliar (2003). Padahal kita tahu ada proyek yang muncul tiba-tiba pada saat pembahasan dan itu disetujui wakil rakyat mengenai penerangan yang memakan dana hingga rp 22,5 miliar. Kita juga belum lupa adanya problem anggaran non budgeter sebesar Rp 10 M dan Anggaran biaya Tambahan (ABT) Rp 6,9 M. Kejadian semacam ini harusnya mampu dijelaskan secara gamblang baik oleh birokrasi maupun oleh wakil rakyat

Di sisi lain perencanaan yang sudah dilakukan masyarakat dimulai ditingkat paling bawah yakni Rt hingga ke Muskotbang telah menempatkan posisi warga yang sedemikian rupa sehingga masyarakat betul-betul menjadi perencana program. Kebijakan pelaksanaan perencanaan selama 3 tahun ini didasarkan SK Walikota yang hingga saat ini memang terus diperbaiki dalam rangka memantapkan dan menyempurnakan aturan main. Sebagai konsekuensi adanya bottom up planning maka Pemkot menurunkan dana bantuan pembangunan kelurahan atau yang dikenal dengan nama blockgrant. Selama 3 tahun ini besar dana blockgrant terus meningkat jumlahnya. Bila pada tahun pertama (2001) setiap kelurahan mendapatkan rata sebesar Rp 50 juta namun pada tahun kedua sudah berkisar Rp 112.676.000 sampai Rp 225.352.000. Pada tahun ketiga dana yang didapat tiap kelurahan sebesar Rp 115.195.912 hingga Rp 250.958.216. Seiring dengan naiknya dana bantuan kelurahan, dana swadaya yang berhasil dikumpulkan oleh masyarakat juga terus naik.

Pada tahun I pencairan dana blockgrant yang rata-rata Rp 50 juta, pemerintah mengeluarkan aturan pelaksanaan atau petunjuk teknis yang dikeluarkan bulan Juli 2001. Pada tahun 2001 tersebut ada 5 batasan kegiatan yang bisa ditangani yakni (1) pembangunan lingkungan, (2) kegiatan peningkatan pelayanan masyarakat, (3) kegiatan peningkatan sumber daya manusia, (4) pemberian stimulan pada organisasi masyarakat dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dan (5) kegiatan yang mengakomodasi usulan dalam forasta. Dana ini hanya terbagi dalam 2 termin. Dalam penyalurannya, disetiap kelurahan dibentuk organisasi bagian proyek yang terdiri atas pimpinan bagian proyek (pimbagpro) dan bendahara pemegang uang muka cabang (PUMC). Keduanya harus dari unsur PNS. Pimbagpro harus mempertanggungjawabkan pada walikota dan membuat SPJ. Dibidang pengawasan dan pemeriksaan ditugaskan bagian fungsional yang langsung diawasi oleh Inspektorat Wilayah Kota/Itwilkot (sekarang Badan pengawas daerah/Bawasda). Pada tahun II dan ketiga ada beberapa perubahan signifikan. Misalnya soal panitia pelaksana, termin dana, pengawasan dan lain sebagainya.


Implementasi

Penggunaan dana bantuan pembangunan kelurahan apabila dicermati mengalami pergeseran yang mengarah pada perbaikan. Kita lihat saja pada tahun penerapan program ini. Penggunaan dana Rp 50 juta lebih diarahkan ke fisik kalau tidak mau dikatakan sebagian besar. Itupun pembangunan yang bersifat gagah-gagahan. Misalkan seperti membangun kantor kelurahan, rehab aula, membangun rumah dinas yang sebetulnya masih layak pakai, pos kamling atau bahkan pembangunan gapura. Belum lagi ada wilayah yang kemudian membagi rata dana itu berdasar jumlah Rt atau Rw sehingga dana yang sampai ke masyarakat akhirnya tidak bisa digunakan kecuali hanya untuk jamuan pertemuan. Tahun 2001, sebesar Rp 5 juta dipotong untuk pengadaan komputer. Di Kelurahan Kratonan, pengadaan ini ditentang oleh masyarakat sehingga semua dana dipergunakan untuk pembangunan wilayah. Pada saat pelaporan mengalami kendala karena memang alokasi anggaran salah satunya harus untuk pengadaan komputer.

Menginjak tahun kedua alokasi penggunaan blockgrant dapat dilihat sudah ada perubahan yakni sebagian besar untuk penerangan jalan, perbaikan jalan dan pengerukan walet. Sedangkan proporsi untuk non fisik meningkat. Meski demikian masih ada juga kasus tokoh masyarakat yang mencoba merancang pembangunan sendiri dan memaksakan pada masyarakatnya. Contohnya yang dialami Kelurahan Kepatihan Kulon yang sempat beberapa kali muncul di media massa. Hal ini kemudian menjadi warning bagi wilayah lain untuk tidak melakukan hal yang sama. Pada tahun ketiga orientasi pembangunan betul-betul bergeser. Artinya masyarakat melihat bahwa proyek-proyek yang bisa swadaya sudah tidak banyak meminta pada alokasi blockgrant. Dana-dana itu lebih banyak digunakan untuk peningkatan kesejahteraan atau bantuan bagi kelompok ekonomi lemah. Misalkan di Kelurahan pasar Kliwon yang mengalokasikan dana Rp 5,6 juta untuk pengadaan 8 becak bagi warganya. Tentunya ini sangat membantu bagi tukang becak yang selama ini becaknya sewa. Kemudian dibanyak kelurahan ada pemberian bea siswa misalnya di Kampung Baru, Kedung Lumbu, Sangkrah, Pajang dan lain sebagainya.

Belum lagi kalau dihitung juga untuk bantuan modal koperasi, bantuan pada pengusaha kecil, atau bantuan dana untuk peningkatan kesehatan. Pelaksanaan bantuan ini sangat tidak berarti bila tidak ada tim yang melakukan monitoring. Untungnya Bapeda kemudian menangkap hal ini dan memasukkan dalam salah satu prasyarat penurunan dana blockgrant sehingga dana-dana yang diturunkan bisa diawasi. Tidak hanya dana yang dikelola oleh masyarakat namun juga berdampak di sisi yang lain misalkan tingkat keberanian masyarakat meningkat. Maksudnya keberanian masyarakat melakukan pengawasan tidak hanya sebatas proyek blockgrant namun juga proyek yang dikerjakan Dinas atau unit kerja. Tahun 2002 Di Sudiroprajan pernah terjadi pembongkaran paksa paving blok yang sudah terpasang sebagian oleh warga. Gara-garanya karena rencana penggarapan proyek tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Kualitas bahan yang digunakan tidak sesuai spesifikasi yang diharapkan masyarakat. Terjadilah proses bongkar pasang dan mengakibatkan pemborong merugi. Lalu di Banyuanyar dan Sriwedari soal pembangunan jalan yang tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan.

Di Kelurahan Timuran juga sempat muncul adanya tuduhan penyimpangan blockgrant untuk KSU Timuran. Pada RAB tertulis penerima mendapat dana Rp 2 juta tapi riil uang yang diterimakan hanya separo saja. Alasan yang dikemukakan untuk pelatihan koperasi. Anehnya penyelenggaraan pelatihan bukan KSU Timuran namun panitia pelaksana dengan LPMK. Dari pengalaman penyelenggaraan pelatihan dengan Dekopinda, pelatihan membutuhkan waktu 2 hari dari pagi hingga sore. Namun pelaksanaan pelatihan koperasi dari LPMK hanya 2 jam. Kualitas pelatihan itulah yang dipertanyakan. Lantas persoalan inipun merembet ke persoalan lain seperti adanya Pimbagpro yang masuk dalam Panitia Pelaksana serta rangkap jabatan seseorang yang duduk sebagai panitia juga sebagai pengawas.

Kelemahan

Bila disorot lebih jauh ada beberapa kelemahan atau kendala yang perlu segera diperbaiki bersama baik oleh pemkot, masyarakat atau sektor lain. Pertama, orientasi proyek blockgrant lebih pada penanganan jangka pendek. Banyak kegiatan-kegiatan sifatnya penanganan sementara. Padahal ada program yang lebih berdampak jangka panjang misal soal pengadaan sumur resapan, pembekalan ketrampilan, pelatihan menegemen dibandingkan kegiatan seperti pembelian seragam, pengecatan gapuro atau pos kamling, keduk walet dan sebagainya. Kedua, sektor informal yang belum banyak tertangani. Pertanyaan apakah selama ini proyek itu lebih banyak berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang selama ini terpinggirkan, pada tahun ke empat pelaksanaan blockgrant nampaknya sudah mulai banyak yang memperhatikan. Program mercusuar sudah lebih banyak dikurangi dan masyarakat sadar bahwa dana berapapun kalau diperuntukkan pada fisik akan tetap habis.

Ketiga, kinerja tim monitoring dan evaluasi belum efektif. Pada dasarnya pembentukan tim ini didasari semangat partisipatif. Artinya mereka hanya sebagai fasilitator penyelenggaraan monev partisipatif yang melibatkan semua unsur dalam sebuah proyek. Sayangnya pandangan masyarakat selama ini melihat jika tim monev bekerja hanya datang, mengawasi, memotret, mencatat lalu melapor pada atasan. Pengawasan alokasi dana blockgrant juga belum dilakukan secara optimal oleh birokrasi. Salah satu contoh kondisi riil adalah ketika saya ditanya apa dana blockgrant itu oleh salah satu ketua Rt di Kelurahan Nusukan tahun 2003 kemarin. Ini menandakan perencanaan pembangunan belum semua wilayah melibatkan warga. Kelemahan lain dari tim ini memang tidak dibekali kemampuan memfasilitasi, alat untuk monitoring dan juga dana. Akhirnya selama setahun belakangan ini tim monev lebih banyak bekerja dalam seleksi proposal dan melihat proyek secara langsung.  Tidak ada dialog dengan masyarakat penerima atau pengguna proyek untuk sekedar menanyakan manfaat dari program.

Keempat, usulan yang dibawa masyarakat masih bersifat proyek dan tidak ada satupun usulan berupa masukan mengenai kebijakan. Padahal peluang partisipasi telah tercipta tinggal bisa dimanfaatkan secara optimal atau tidak. Toh masyarakat juga mencermati perkembangan kota misalkan soal pedagang kaki lima, becak, pengamen dan sektor lain. Ruang publik untuk pembicaraan selama ini memang relatif terbatas sehingga ajang Muskelbang idealnya dapat dimanfaatkan secara optimal. Kelima, panitia pelaksana blockgrant diakui atau tidak masih terjebak pada ego sektoral. Di beberapa kelurahan misalnya muncul perdebatan (saat panitia pelaksana harus membuat DSP) menggolkan usulan Rw hanya karena sang pengusul berasal dari wilayah tersebut. Mestinya usulan dikerangkakan demi kepentingan bersama. Kalau dicermati tentu bisa kita dapatkan hal ini pada saat Muskelbang, muscambang bahkan Muskotbang. Mestinya kerangka pemikiran tim pelaksana demi kepentingan bersama.

Sementara itu dampak yang bisa diperoleh ada dua segi yakni fisik dan non fisik. Yang fisik, masyarakat dapat melihat banyak fasilitas umum di kelurahan bisa dinikmati bersama seperti jalan halus, ketika hujan tidak banjir, jembatan yang memadai dan lain sebagainya. Dari aspek non fisik yang bisa dilihat tingkat pendidikan bisa diharapkan lebih baik karena ada bantuan bea siswa, peningkatan usaha ekonomi, tumbuhnya kepercayaan antar warga, terjalinnya komunikasi yang cukup efektif. Tinggal bagaimana menjaga hal ini secara berkesinambungan dan tidak terputus atau rusak ditengah jalan. Dua dampak ini akan menjadi modal yang sangat berharga bagi Kota Solo.

Masukan

Lantas masukan apa yang bisa didesakkan pada birokrasi agar pelaksanaan pengelolaan dana blockgrant bisa lebih baik dari sebelumnya. Pertama mengenai tim monev itu sendiri. Aturan main harus jelas sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Mekanisme monitoring dan pelaporan perlu diatur lebih detil. Batasan inipun tidak menutup ruang kreatifitas tim pada saat menjalankan tugasnya dan diharapkan outputnya sesuai dengan apa yang melandasinya. Semangat tim tetap melibatkan seluruh warga dan yang paling penting adalah bahwa tim ini bukan dalam rangka mengadili tim pelaksana tapi membantu masyarakat mengawasi penggunaan dana baik dari blockgrant ataupun swadaya yang berhasil dihimpun. Kemudian dana monitoring juga perlu dianggarkan secara khusus agar tidak mengurangi dana-dana yang memang untuk kegiatan pembangunan.

Kedua, peranan pemerintah kelurahan dipertegas dengan tanggung jawab menjadi media keterlibatan warga. Tentunya dalam keterlibatannya nanti akan memunculkan kohesivitas baik antar individu, antar individu dengan lembaga maupun antar lembaga yang ada ditingkat kelurahan. Peranan kasi-kasi yang ada bisa optimal dilakukan dan membantu wadah yang memang ada dimasyarakat. Komunikasi perlu dibangun sehingga ruang bertemu warga menjadi lebih banyak dan tidak menimbulkan persoalan sendiri. Banyak kejadian yang timbul dikarenakan ruang dialog publik memang tidak tersedia yang akhirnya muncul secara ekstrem. Mestinya masalah yang ada bisa diselesaikan (bila ruang komunikasi tersedia) malah menjadi problem yang berlarut-larut.

Ketiga, ketersediaan media atau informasi. Selama ini tidak ada pemanfaatan yang maksimal dari ruang publik yang sudah ada. Misalnya rapat Rt, Rw, pengajian, papan pengumuman. Mestinya tempat-tempat tersebut bisa dimanfaatkan untuk penyebaran informasi baik dalam konteks perencanaan, pelaksanaan, penggunaan dana blockgrant ataupun hasil monitoring. Ada ruang yang lebih besar lagi yang cukup efektif yakni media massa dan media elektronik seperti radio. Namun 2 media ini lebih banyak digunakan ketika muncul sebuah problem atau masalah. Hal ini yang perlu difahami semua pihak termasuk Pemkot untuk menjalankan tugasnya. Pemberian informasi yang terus menerus berarti juga menjalankan prinsip transparansi yang meminimalisir adanya kecurigaan atau bahkan tuduhan negatif. Tinggal bagaimana memanfaatkan ruang-ruang yang ada itu secara penuh.

Sebagai penutup, kiranya beberapa gambaran diatas mampu memberikan banyak sumbangan pemikiran sebagai masukan atau input perubahan kedepan bagi semua pihak. Kedepan proses perencanaan pembangunan akan lebih baik bila semua pihak membuka diri, menerima kritikan dan masukan sebagai upaya mencari model perencanaan lebih baik. Perubahan sikap juga diperlukan tidak hanya perubahan sikap birokrasi tapi juga masyarakat ataupun wakil rakyat supaya perencanaan pembangunan partisipatif yang banyak memberi dampak positif ini bisa terus dijaga. Kita semua tentunya tidak mau perencanaan akan dikembalikan seperti pada saat orde baru yang hanya ditentukan oleh elit masyarakat, kelompok tertentu atau kelompok kepentingan. Semoga!

Rabu, 17 Maret 2004

MENANTI KIPRAH LEGISLATIF PEREMPUAN

|0 komentar
Usai sudah pesta demokrasi melalui pemilihan umum tahun 2004 ini. Meskipun masih menyisakan pemilihan presiden namun tidak ada kejadian berarti selama masa kampanye hingga hari pemungutan suara. Memang disana sini banyak keluhan dan protes tetapi makna demokrasi dapat kita rasakan. Bahkan pemantau pemilu sekelas Uni Eropa pun memuji atas keberhasilan pelaksanaan pemilu. Soal riak-riak dalam pelaksanaan, biarlah dituntaskan oleh yang pihak-pihak yang bertanggungjawab seperti Panwaslu, Polri dan Pengadilan. Bagi masyarakat, harapan yang dititipkan calon anggota legislative terpilih tidak macam-macam. Yakni agar mereka mau mendengar suara rakyat, memperjuangkan aspirasi, membuat masyarakat dapat bekerja dengan tenang. “Vox dei vox populi” suara rakyat suara tuhan. Begitulah. Ada secercah asa yang tersirat dari rakyat agar itu semua dapat terwujud. Wong mereka juga sudah menggunakan hak pilihnya.

Peringatan Hari Kartini baru saja berlalu beberapa hari. Titik titik perjuangan emansipasi wanita yang dibawanya hingga kini masih terasa bahkan kesempatan bekerja, bersekolah, mendapatkan pelayanan, kesetaraan kian terbuka luas. Diberbagai sektor, perempuan telah menunjukkan kemampuan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Lantas masihkah kita menganggap perempuan sebelah mata dan hanya meletakkan sebagai “konco wingking” semata?. Dalam bidang politik, saat pembahasan UU  No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu tentunya masih melekat diingatan kita banyak elemen seperti Ormas, OKP, LSM dan elemen lainnya yang peduli pada persoalan perempuan gencar melakukan kampanye kuota perempuan sebesar 30 %. Perjuangan itu akhirnya ‘agak’ berhasil dengan dimasukkannya usulan tersebut. Pada pasal 65 ayat 1 tertulis “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Memang sebagian kalangan menganggap ditampungnya pasal itu hanya akal-akalan atau kompromi elit karena terdapat kata ‘Dapat’. Sebagian yang lain menyatakan masuknya pasal ini merupakan tindakan affirmative.

Terlepas dari masalah itu, kemudian ramai-ramailah partai peserta pemilu menyodorkan perempuan untuk memenuhi kuota 30 % tersebut. Masyarakat kembali kecewa sebab dari banyak partai yang mengajukan calonnya hanya untuk memenuhi persyaratan undang-undang. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya caleg perempuan yang diletakkan pada urutan bawah. Selain itu, caleg perempuan banyak juga masih ada hubungan dengan pejabat teras partai bersangkutan. Banyak kritikan yang diajukan pada caleg-caleg itu meskipun akhirnya mereka tetap maju ke medan pertempuran. Sementara partai membelanya dengan mengatakan caleg (perempuan) itu memang kader partai dan siap bersaing dengan caleg laki-laki.

Memang disayangkan, pemaknaan pasal itu yang melenceng dari komitmen awal. Artinya para aktivis berharap partai bersedia membuka diri, mencari, menggodok bahkan bernegosiasi dengan perempuan yang memang kapabel untuk itu. Aktivis partai malah mengelak dengan tidak mau mencari perempuan yang sudah jelas komitmennya untuk memperjuangkan perempuan. Apalagi menaruhnya diurutan atas. Sudah pasti protes dari sana sini mengalir deras. Kita semua mendapati bahwa partai tidak melakukan regenerasi secara seimbang antara laki-laki dan perempuan. Bahkan berdasarkan sebuah penelitian disebutkan dari 6 partai di Solo, perempuan yang masuk dikepengurusan hanya 5,26 % (Siti Supeni, Peran Politik Perempuan 2004).

Analisis
Baiklah kita tinggalkan problem-problem diatas dan coba kita lihat hasil pemilu di 19 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah. Berdasarkan perkiraan caleg perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten/Kota di 19 wilayah Jawa Tengah tidak ada yang melebihi 16 persen (data didapat dari berbagai media massa di jawa Tengah). Justru yang mampu meloloskan calegnya mencapai 16 persen untuk jadi wakil rakyat periode 2004 – 2009 yakni 6 partai dari berbagai daerah pemilihan yang ada untuk menjadi anggota di DPRD I Jawa Tengah. Peningkatannya sangat tajam karena periode sebelumnya hanya terdapat 4 anggota legislative perempuan. Untuk kabupaten/kota hanya ada 10 partai yang meloloskan caleg perempuannya untuk jadi wakil rakyat (Lihat Tabel). Sementara Kabupaten/Kota yang mampu menembus 15 % keterwakilan perempuan (7 orang) hanya ada 2 yakni Kabupaten Pekalongan dan Purbalingga.

Dibawahnya Kota Tegal (6 orang/13,3 %), disusul Banjarnegara, Purworejo, Batang, Pemalang dan Kabupaten Tegal berjumlah 5 orang (11,1 %). Sisanya 11 wilayah yang tidak mendudukkan caleg perempuannya melebihi 10 persen. Dua wilayah yang caleg perempuannya minim yakni Kabupaten Temanggung 2 orang (4,4 %) dan Kota Solo hanya 5 persen (2 orang dari 40 anggota). Khusus Kota Solo (berdasar news letter Grha Perempuan edisi 09 Maret 2004) terdapat 12 partai yang mengajukan caleg lebih dari ketentuan undang-undang. Partai tersebut adalah PNI Marhaenisme (35 %), PBB (39 %), PPP (37 %), Partai PIB (60 %), PNBK (30 %), PKPI (30 %), PPDI (46 %), PKPB (30 %), PKB (39 %), PKS (40 %), PDS (52 %), P Golkar (32 %), P Patriot (33 %) dan PPD sebesar 37 %. Dari 12 partai itu yang meloloskan caleg perempuannya PDS dan PDIP (yang kuotanya hanya 21 %).

Dari kesepuluh partai, yang penyebaran caleg perempuan yang dipastikan jadi, hampir merata di 19 wilayah tentu saja PDI Perjuangan. Hanya ada 6 daerah yang caleg perempuannya diperkirakan tidak mewarnai dewan yaitu di Solo, Karanganyar, Pemalang, Pati, Kab Semarang dan Temanggung. Kemudian Partai Golkar (8 daerah), PKB dan Partai Demokrat  (10). Sedangkan 3 partai hanya mampu mendudukkan 1 wakil perempuan di legislative yakni PKPB (Pemalang), PDS (Solo) dan PBB (Boyolali). Yang disayangkan adalah Partai Keadilan Sejahtera. Dari 17 Kabupaten/Kota yang mampu meloloskan kadernya menjadi dewan, ternyata hanya terdapat dua kader perempuan yang duduk menjadi anggota legislative. Padahal, Jawa Tengah mampu meloloskan Ny Hj Nafisal Sahal menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan meraup suara terbanyak 1,7 juta lebih. Berdasarkan data sementara KPU Pusat, dari 32 propinsi di Indonesia hanya ada 9 propinsi yang tidak berhasil ‘meloloskan” calon perempuannya sebagai DPD.

Harapan
Setelah kita semua tahu seperti itu, apa yang kita tunggu dari kiprah mereka selama 5 tahun kedepan. Tidak mudah memantau kinerja mereka apalagi anggota legislative akan diikat norma-norma kedewanan ditambah aturan partai yang sangat membelenggu. Sebelum pemilu digelar, dibanyak wilayah ada gerakan yang cukup menarik simpati masyarakat yakni soal political contract atau kontrak politik. Memang dibeberapa tempat hanya kader Partai Keadilan Sejahtera yang berani membuat perjanjian didepan notaris. Lalu di Solo ada sebuah LSM yang kemudian bersepakat bersama-sama membuat kontrak politik dengan caleg perempuan. Tujuannya agar caleg yang kemudian berhasil menjadi anggota dewan tidak mudah berubah haluan. Selain itu juga untuk memantau kinerja selama 5 tahun kedepan apakah dia akan bekerja untuk kelompoknya atau untuk meningkatkan dan mensejahterakan perempuan.

Diluar itu, tidak berlebihan bila kita mempunyai harapan supaya wakil rakyat perempuan ini terus berjalan on the track. Ada beberapa point yang mungkin harus tetap dijaga oleh mereka yakni pertama, dengan duduknya mereka menjadi anggota dewan telah membuktikan adanya partisipasi perempuan. Hal ini harus diperluas lagi dengan aktifnya mereka dalam pengambilan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Bagaimana memformat agar APBD lebih banyak memberi roh dan mampu meningkatkan kepedulian pada perempuan. Bagaimana anggaran pendidikan dapat memberi peluang pada anak didik perempuan menjadi setara dalam hal kesempatan untuk mencari ilmu. Dibidang kesehatan misalnya, program kesehatan reproduksi dan kesejahteraan perempuan perlu menjadi prioritas utama

Yang tak kalah pentingnya yakni menciptakan aturan agar kekerasan terhadap perempuan (apapun bentuknya) pelakunya harus mendapat hukum setimpal. Kedua, peneguhan komitmen bahwa duduknya mereka di legislative betul-betul memberi manfaat dan bukan hanya pelengkap penderita. Kreatifitas dalam melakukan fungsi legislasi harus terlihat sehingga makna hadirnya wakil perempuan di parlemen menjadi kenyataan. Tidak banyak berkutat dengan kelompoknya sendiri namun membangun jaringan lebih besar sehingga dukungan datang tidak hanya dari konstituen saja. Ini lebih efektif dalam mendesakkan kebijakan yang peduli perempuan daripada mengandalkan partai semata.

Ketiga, pengabdian itu bukan pada kekuasaan, bukan pada partai namun pada kelompok-kelompok perempuan, marginal, lemah yang selama ini mereka hidup dalam tekanan. Prioritas bidang kerja bukan berorientasi pada bagaimana mengembalikan modal kampanye atau memperkaya diri sendiri. Tiga hal inilah yang menjadi kunci untuk menjawab layakkah perempuan menjadi wakil rakyat. Akhirnya, marilah kita semua berdoa agar mereka yang pada 1 Oktober nanti dilantik tetap peduli pada masyarakat dan tidak lupa diri, semoga.