Jumat, 20 Februari 2004

SAATNYALAH KITA YANG MENENTUKAN

|0 komentar
Dua puluh dua hari mendatang (11 Maret – 1 April) mata dan telinga kita akan dipenuhi kampanye partai politik peserta pemilihan umum 2004 ataupun calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Baik dijalanan, pos ronda, televisi, surat kabar, radio bahkan (mungkin juga) e-mail kita akan dipenuhi rayuan agar memilih. Harap dimaklumi karena pada tanggal itulah kesempatan parpol, caleg maupun calon DPD ‘menjajakan dagangannya’ agar laku. Bagi beberapa orang mungkin akan mengusik kenyamanan dan ketenangan. Pemilu 2004 (yang kata KPU BEDA!) disambut suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia. Bisa kita saksikan di televisi, bisa kita dengarkan di radio dan bisa kita baca dimedia massa maraknya pesta Pemilu ini.

Pemilu 2004 ini diakui atau tidak sedikit ada perbedaan. Salah satu diantaranya yakni kita dapat langsung memilih orang supaya duduk menjadi wakil rakyat. Kata teman saya, kalau dulu milih kucing dalam karung tetapi sekarang karungnya sudah transparan sehingga kucingnya kelihatan apakah kucing kurap atau bukan. Partai berebutan mengajukan calon yang akan dipertarungkan dalam pemilihan nanti. Bahkan diperkirakan ratusan artis papan atas akan ikut memeriahkan kampanye 24 partai yang ada.

Terlepas dari beberapa masalah yang melingkupi pemilu seperti masalah honor KPPS yang minta naik, kekhawatiran terlambatnya kartu suara, ribut-ribut pejabat parpol mencari-cari pasangan capres-wapres hingga sampai ada yang meragukan pemilu dapat terselenggara tepat waktu maka selama 22 hari rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi yang kesekian kalinya. Banyak masyarakat yang berharap ajang pemilu ini dapat merubah nasib bangsa. Ada pula yang berharap asalkan terselenggara dengan damai dan inilah yang menjadi tumpuan selain hasilnya nanti akan menghasilkan pemerintahan yang jujur, adil, demokratis dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Lalu bagi kita yang rakyat biasa ini, apa yang akan diperbuat menghadapi pesta itu? Pertanyaan yang sebetulnya sangat sederhana namun susah mencari jawaban yang pas. Ikut kampanyekah ? ada yang berpendapat asalkan diberi honor dan kaos. Ada juga yang hobinya mempreteli knalpot sambil berjoget diatas motor atau yang hobi nonton goyang ngebor akan datang ke lapangan karena ada suguhan artis dangdut nasional yang diundang atau dirumah saja menonton televisi?. Sebenarnya disinilah letak kepentingan masyarakat untuk memilih partai dan calegnya. Bagi sebagian aktivis partai, tidak bakal ada keraguan untuk memilih sebuah partai dan seorang calon yang memang diandalkan. Bagi sebagian orang tidak akan kesulitan menentukan pilihan namun bagi yang lain mungkin akan berbeda.

Masa Kampanye

Diakui atau tidak pendidikan politik yang seharusnya dilakukan partai politik tidak pernah dijalankan. “Kapan partai berinteraksi dengan konstituennya, memberikan pendidikan politik pada rakyat?” ungkap Hasyim Asy’ari, anggota KPU Jateng pada sebuah seminar di Solo tanggal 8 Pebruari kemarin. Kalau selama ini pendidikan politik dilakukan niscaya rakyat tidak akan bingung memilih partai atau orang yang dicalonkan untuk duduk di legislative. Nah jika demikian kondisinya maka tak pelak masyarakat harus betul-betul memantau, mengikuti, mendengarkan atau menyimak kampanye seorang caleg.

Kampanye merupakan janji yang harus ditepati meskipun implementasinya sangat susah karena memang tidak ada yang merekam/memantau kemudian menagih dikemudian hari. Paling tidak wacana mengikat caleg sudah dilakukan beberapa lembaga. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, dibeberapa wilayah sudah banyak melakukan kontrak politik didepan notaris. Lalu kalau di Solo ada Solidaritas Perempuan untuk Keadilan dan HAM (SpekHAM) melakukan kontrak sosial dengan caleg perempuan. Menurut saya, inilah sebuah pembelajaran bagi kita semua bahwa menjadi anggota legislatif itu tidak mudah karena memikul tanggung jawab sosial yang memang harus bisa dipertanggungjawabkan minimal kepada pemilih/konstituen.

Akhir-akhir ini media justru banyak memberikan berita bahwa wakil rakyat yang segera paripurna minta pesangon. Bungkusnya macam-macam. Ada dana asuransi, ada pesangon, tali asih dan ada dana paripurna yang besarnya puluhan juta. Belum lagi ada gerakan baru soal tolak politisi busuk yang sangat membantu masyarakat menentukan pilihannya. Gerakan ditingkat nasional yang digalakkan baik oleh Ormas, OKP maupun LSM ini telah sampai ke wilayah-wilayah. Lalu dibeberapa daerah ada kampanye pilih caleg nomor bawah.

Bagi yang menandatangani kontrak politik bersedia diganti apabila melanggar. Banyak hal yang tertulis dalam kontrak itu seperti tidak akan melakukan korupsi, kolusi, akan memperjuangkan perempuan dan lain sebagainya. Sayangnya secara global hingga saat ini jarang terdengar sebuah partai politik menerangkan soal platform paradigma atau bahkan program politik untuk mengatasi krisis yang melanda bangsa Indonesia. Bahkan partai yang berkuasapun tidak jelas visi misinya karena toh bangsa ini masih tetap begini. Tidak pernah didapati sebuah partai/caleg muncul dilayar kaca atau iklan di media cetak menyatakan apabila terpilih akan melakukan ini itu. Justru yang muncul adalah pilihlah partai ini dan nomor urut sekian.

Dalam sebuah jajak pendapat terungkap hal yang sangat mengkhawatirkan. Dari 1.018 responden terungkap 62,5 persen (Jawa) responden belum pernah mendengar program. Sementara luar Jawa tercakup 63,4 persen. Padahal dalam pertanyaan selanjutnya tentang perlu atau tidak partai politik menyosialisasikan program, sekitar 80,7 persen responden yang berada di Jawa menjawab perlu dan 79,6 persen menjawab tidak. Yang bertambah parah yakni dari 75,3 persen responden di Jawa dan 70,8 persen responden diluar Jawa menjawab tidak yakin atas janji partai politik dalam kampanye akan dilaksanakan.

Pahami Platform
Lalu sebagai pemilih, apa yang dapat dilakukan? Ada beberapa hal yang mungkin dapat memandu kita menentukan siapa orang yang akan kita serahi mandat untuk memperjuangkan kepentingan kita. Pertama lihatlah visi misi, platform, paradigma ataupun program-program partai peserta pemilu 2004. Data-data ini bisa didapatkan dari web site (kalau ada), baca brosur partai, mendengarkan dialog yang diselenggarakan media elektronik, mendatangi seminar atau diskusi, mendatangi kampanye atau bahkan bisa juga mendatangi secretariat partai bersangkutan untuk menanyakan hal-hal yang menjadi kebutuhan.

Kedua, bagaimana perjalanan partai tersebut selama ini. Hal itu bisa kita pantau dari media yang ada. Apakah paprtai tersebut suka mengeluarkan kebijakan yang menggusur PKL, melegalkan judi, menyetujui anggaran pendidikan yang minim. Tentu data ini tidak bisa didapat dengan mendatangi partai bersangkutan. Bisa juga kita mendatangi media massa dan mencari informasi itu, mendatangi Ormas, OKP, LSM atau pihak lain yang memang sering memantau atau berkompeten untuk melihat sepak terjang mereka.

Ketiga, lihat track record calon legislative yang ada di partai tersebut. Data ini mungkin bisa digali dari dimana dia tinggal. Lewat tetangganya bisa ditanyakan perilaku sehari-harinya. Dimanakah tempat kerjanya (sebelum menjadi anggota dewan) tanyakan pada bawahan atau pesuruhnya apakah perilakunya terpuji. Bisa juga tanyakan pada orang yang sering berinteraksi dengan caleg tersebut. Dari hal-hal itu kita akan dapatkan realitas yang obyektif terhadap perilaku seseorang. Jangan sampai kita memilih calon yang justru suka korupsi dikantornya, suka memukul atau menyiksa pembantunya atau bahkan diundang rapat Rt saja tidak mau. Orang-orang seperti ini akan berlindung dibalik kesibukannya sebagai wakil rakyat untuk tidak mau bergaul dengan masyarakat.

Seandainya kita datang pada saat kampanye, tentu tiap partai dan caleg akan mengutarakan janji-janji yang manis sehingga membuai kita dalam mimpi. Kita tidak lagi akan memilih partai yang platform ataupun visi misinya tidak jelas. Dan kita tidak akan mencoblos caleg yang jelas2 korup, memakan uang rakyat dengan dalih dana paripurna, anti demokrasi, pelanggar ham, pelaku kekerasan dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Saatnyalah kita menentukan masa depan bagi Indonesia yang lebih baik.