Minggu, 21 Desember 2003

JAJAK PENDAPAT DAN HARAPAN RAKYAT

|0 komentar
JAJAK PENDAPAT DAN HARAPAN RAKYAT
Oleh: Muhammad Histiraludin

Untuk mengetahui siapa Presiden RI ke VI memang masih 11 bulan lagi. Prosesnya pun masih melewati jalan berliku mulai dari pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II tanggal 5 April 2004, pemilihan presiden tahap I tanggal 5 Juli 2004 dan baru tanggal 20 September  2004 kita akan tahu siapa dia. Masyarakat sendiri lebih banyak diam dan melihat apa yang akan terjadi daripada ribut-ribut soal capres mendatang. Atau karena mereka (rakyat) tidak tahu bahwa system pemilu sudah diubah. Yang jelas sejak beberapa bulan lalu tidak sedikit lembaga yang menyelenggarakan pooling/jajak pendapat mengenai siapa kandidat presiden mendatang. Setidaknya penulis mencatat ada 5 kali jajak pendapat yang dimuat di media massa. Penyelenggaranyapun kebanyakan lembaga-lembaga penelitian atau lembaga independent

Melihat 5 penyelenggaraan memang belum bisa diprediksikan bahwa yang diunggulkan pasti akan menjadi presiden. Apalagi yang mendulang suara terbanyakpun berbeda-beda. Pooling itu diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan & Penerangan Ekonomi & Sosial (LP3ES), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), International Foundation For Election System (IFES), John Caine Center (JCC), Lembaga Studi & Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia) dengan waktu berbeda. Tidak semua nama juga masuk nominasi. Misalnya Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur hanya masuk dalam penelitian LSPEU Indonesia, Aburizal Bakrie juga hanya masuk dalam poolingnya JCC. Meski tidak ada satu namapun yang masuk 5 jajak pendapat itu, ada juga nama di yang mendapat suara di 4 lembaga seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara Amin Rais dan Megawati masuk dalam nominasi 3 lembaga. Selain itu dalam pengumuman tiap lembaga, tidak semua nama dicantumkan karena pertimbangan perolehan suaranya tidak cukup signifikan. Bahkan IFES Cuma mencantumkan Capres 3 besar saja. Ditilik dari perolehan suara ternyata jumlah prosentase terbesar didapat Wiranto di JCC yang memang respondennya hanya berasal dari DPD Partai Golkar 7 kota. Hasil ini memang klop dengan hasil konvensi terakhir ditingkat DPD I yang memperoleh 23 suara. Penjaringan nama calon presiden terbanyak didapat JCC (10 nama), LP3ES (7) dan SSS lima nama. Untuk jumlah responden, SSS cukup besar yakni mencapai 10.000 orang, diikuti LP3ES dan IFES (3.000), lalu LSPEU Indonesia 2.995 dan JCC ‘Cuma’ 258. Untuk pemerataan wilayah kabupaten atau kota, SSS mensurvei 33 propinsi, disusul IFES 32 Propinsi, LP3ES 13 Propinsi, lalu JCC 7 kota dan LSPEU Indonesia 6 kota.

Calon Independen

Dari nama yang keluar itu hanya terdapat satu nama yang tidak berasal dari partai politik yakni Nurcholis Madjid. Meskipun sempat mengikuti konvensi Partai Golkar, perolehan suara dalam pooling ini tidak cukup berarti. Artinya memang (seakan-akan) hanya partailah yang berhak mendapat kursi presiden sementara pihak independent peluangnya menjadi minim. Pilihan kandidat bagi masyarakatpun menjadi terbatas. Mereka tidak bisa melihat atau memilih tokoh-tokoh yang independent yang komitmentnya lebih netral dibanding ketua-ketua partai. Kondisi ini bisa berpengaruh dalam kerangka pendidikan politik yang dibangun. Padahal dalam pemilihan Gubernur DKI, ada tokoh masyarakat dari komunitas becak berani mencalonkan diri. Demikian pula ketika terjadi pemilihan Bupati Boyolali, Jaswadi salah satu tokoh Kedungombo juga berani maju (meskipun akhirnya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan).

Yang perlu dicermati juga adalah banyaknya prosentase responden yang menjawab tidak tahu atas pertanyaan siapa presiden yang layak dan akan dipiliih 2004 mendatang. Memang pemilihan itu menjadi hak seseorang tetapi dalam sebuah pooling setidaknya rakyat tidak ragu lagi menentukan siapa yang akan dipilih atau layak menjadi presiden. Dalam jajak pendapat LP3ES ditanyakan siapakah yang layak menjadi presiden 2004, ternyata 46 persen responden (dari 3.000) menjawab tidak tahu. Kemudian dari LSPEU Indonesia 45 persen juga menjawab tidak tahu siapa yang akan dipilih dalam pemilihan presiden mendatang. Meski prosentase ini perlu diteliti lagi apakah betul demikian, ada pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa sepak terjang calon-calon presiden itu masih belum meyakinkan masyarakat untuk segera menentukan pilihannya.

Pengumpulan suara-suara dalam pooling itu memang tidak serta merta menggambarkan apa yang akan terjadi pada 20 September mendatang. Ada beberapa factor yang berpengaruh dalam metode jajak pendapat. Pertama, siapa yang menyelenggarakan kegiatan ini. Kadang ada pula lembaga menerima pesanan dari pribadi karena motif tertentu. Sang pemesanpun akan memberikan nomor telepon yang akan dijadikan sampling sehingga suara calonpun menjadi besar. Kenapa order ini dikehendaki? Ya karena calon ingin membentuk image melalui media massa bahwa dia mendapat dukungan secara signifikan. Tanpa melalui kampanye, opini publik sudah otomatis terbangun dari media yang memuat hasil jajak pendapat. Belum lagi ditambah komentar pakar tentang dukungan suara. Kedua, pemilihan kota untuk jajak pendapat juga ikut berpengaruh. Misalkan untuk daerah Eks Karesidenan Solo dibanding Kabupaten Magelang akan berbeda. Di Solo yang akan unggul pasti Megawati atau Amin Rais sementara di Pati nama Gus Dur akan mendapat perolehan suara banyak.

Ketiga, kondisi psikologis responden ikut menjadi factor yang berpengaruh. Seperti usia, tingkat pendidikan, pengalaman pribadi, aktivitas atau pergaulan dan lainnya. Tentu seseorang yang banyak bergelut dibidang usaha akan memilih calon yang banyak melindungi usahanya. Sementara seorang birokrat akan memilih calon presiden yang sering manaikkan gaji pegawai negeri. Kondisi-kondisi inilah yang berpengaruh pada pilihan seseorang. Sehingga apapun hasilnya harus tetap diletakkan sekedar alat untuk membaca kecenderungan dan bukan “memastikan” kecenderungan (survei/polling bukan bukti empirik) apalagi realitas politik itu sendiri (Moh Samsul Arifin/Kompas 16/10).

Harapan

Lantas, bagaimana kita membaca, menelaah dan meresapi banyaknya jajak pendapat itu. Semakin mendekati hari H pemilihan presiden tidak tertutup kemungkinan akan lebih banyak pihak menyelenggarakan kegiatan yang sama. Kegunaan jajak pendapat bagi setiap pihak akan berbeda. Kita sebagai rakyat biasa hanya akan menganggap itu sebagai gambaran munculnya kandidat calon presiden. Masih banyak kandidat yang belum masuk seperti Eros Jarot (PNBK), Sukmawati (Partai Pelopor), KH Zainuddin MZ (PBR) dan lainnya. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2003, penetapan calon baru akan dilakukan Bulan Desember 2003 mendatang. Bagi aktivis partai politik, polling ini merupakan masukan yang tentu menjadi rujukan. Kenapa si A bisa unggul, si B bisa kalah dan calonnya malah tidak masuk sama sekali.

Meskipun jajak pendapat bukan merupakan penilaian akhir, setidaknya hal itu menjadi gambaran bersama. Bila perlu mari kita jadikan pelajaran untuk melihat ketika seorang dicalonkan atau diunggulkan apakah ada perubahan sikap. Bagaimana sikap partai asal calon tersebut, masih maukah mereka memperjuangkan kehidupan rakyat kecil yang banyak didera kelaparan, kemiskinan dan bencana kekeringan. Jauh lebih prinsip adalah bagaimana semua stakeholders pemilu menjalankan proses ini dengan jujur, adil dan tanpa ada kekerasan yang terjadi yang malah menyengsarakan rakyat kecil. Harapan kita semua pada saat pemilu terjadi tetap pada keinginan bersama yakni berjalan damai!. Semoga.

Penulis adalah pekerja social di lembaga Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

Sabtu, 20 Desember 2003

EMBEL – EMBEL NAMA SUAMI

|1 komentar
(Tanggapan Untuk Ike Janita Dewi dan Reko Alum)
Oleh: Muhammad Histiraludin

Mencemati tulisan-tulisan di rubrik Swara sangat menarik. Banyak kupasan yang dibedah untuk mengkritisi soal perempuan. Diantara yang menarik bagi saya adalah tulisan 2 ibu rumah tangga yakni artikel berjudul Istri Yang Kehilangan Nama (Ike Janita Dewi, Kompas 15 Desember 2003) dan Namaku Adalah … (Reko Alum, Kompas 23 Maret 2004). Kenapa begitu? Karena keduanya mengupas soal eksistensi perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin bagi sebagian orang lain tidak menarik. “Memang begitu kenyataannya” komentar istri saya waktu dimintai komentar soal dua tulisan tersebut. Nampaknya ada kepasrahan total dari komentar itu namun tidak dari Ike ataupun Reko.

Gugatan yang diajukan oleh Ike lebih dikarenakan posisi atau bargaining seorang perempuan yang berpendidikan tinggi. Sayangnya Reko tak menjelaskan latar belakang pendidikannya sehingga agak susah memotret ‘pemberontakan’ tersebut. Tapi setidaknya, dari tulisan itu ditangkap ada kecerdasan yang bisa dimaknai pembaca bahwa para perempuan itu butuh pengakuan. Posisi Ike jauh lebih sulit karena beliau tinggal di Jogjakarta yang nuansa primordialnya lebih kental. Belum lagi pergaulan lingkungan lebih sering terjadi dibanding Reko yang tinggal (paling tidak) di pinggiran kota besar.

Terlepas itu semua, saya sepakat bahwa penggunaan nama pribadi jauh lebih penting ketimbang menggunakan nama suami. Tidak hanya sebatas penghargaan atas pemberian nama seseorang tetapi manfaat penggunaan nama sendiri yang jauh lebih besar. Sayangnya tradisi yang entah siapa yang memulainya nama seorang perempuan akan berganti menjadi Ibu ini, Ibu itu dengan menggunakan nama suaminya. Kadang saya ingin protes namun pada siapa protes itu saya lontarkan. Toh Presiden kita tetap menyandang Ibu Megawati Soekarnoputri bukannya Ibu Taufik Kiemas. Ibu-ibu pejabat kita juga tetap digunakan meski nama suaminya tetap menempel misalnya Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ny Nina Akbar, Ny Tien Suharto dan lain sebagainya.

Nampaknya ketika nama suami diikutkan akan berpengaruh, namun bagi kita (para suami) apa sih dampaknya. Saya sendiri yang berposisi sebagai suami sama sekali merasa tak nyaman nama saya diembelkan dibelakang nama istri saya. Toh kalau dia berhasil bukan karena saya namun karena prestasinya sendiri. Kebetulan saya dan istri sebagai pekerja sosial di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar tetap manggilnya ya Ibu Iral (panggilan saya-pen). Saya pernah mencoba berdiskusi dengan istri saya untuk merubah itu. Awalnya yang saya tawarkan sederhana. Kebetulan saya Sekretaris Rt di kampung dan ada ibu-ibu yang suaminya sudah meninggal dan ada yang tidak dirumah. Hak mereka untuk ikut rapat Rt menjadi hilang (asumsi umum) makanya saya menawari istri saya sekali waktu untuk menggantikan pas rapat Rt. Eh dia menjawab tidak mau karena dipandang aneh. “Lho kan belum mencoba” bujuk saya. Dia tetap menolak. Maksud saya biar ibu-ibu yang tidak ada bapaknya itu mau hadir.

Ada beberapa kesulitan sebagai pengurus Rt bila ibu-ibu itu tidak memakai namanya sendiri. Misalkan soal kartu pemilih untuk pemilu ini yang dibagikan. Karena kita tidak pernah tahu nama ibu-ibu itu maka pas saat pembagian terpaksa kita menanyakan langsung dan itu perlu waktu berulang kali. Ada pula pembantu rumah tangga mereka tidak tahu siapa nama majikan perempuannya. Lalu ada orang mencari rumahnya siapa, ada tagihan rumah (karena kami tinggal diperumahan), surat dan saya selaku pengurus Rt juga dibuat bingung. Sebab memang tidak tahu siapa sebenarnya yang bernama ibu Tuti, Ibu Nurul dan seterusnya. Bahkan nama Istri Ketua Rtpun saya tidak tahu!.

Pada saat pembagian kartu pemilih ada beberapa orang yang ikut membagikan. Orang-orang itu ikut ya karena penasaran nama ibu-ibu di Rt kami. Ada yang nama orang kota dan ada nama ndeso kata orang yang ikut membagikan. Ada pula ibu yang meskipun sudah ditinggal meninggal suaminya masih menyandang nama suami. Sampai kapan akan disandangnya? Apakah itu tidak akan menganggu eksistensinya sebagai warga negara?.

Bila dilihat pada proses, sebetulnya dimanakah letak pergantian nama seorang perempuan atau penempelan nama suami? Sedari kecil seorang anak perempuan hingga selesai kuliah bahkan bekerja masih akan menyandang namanya. Namun begitu menikah dan masuk dalam lingkungan masyarakat (otomatis menjadi anggota PKK) secara otomatis namanya berubah. Ada nuansa ketidakmampuan (atau dipaksa) oleh masyarakat. Bila kita simak tulisan Ike, ketika berbelanja didepan rumah ditanya siapa namanya, beliau dipaksa menjawab Ibu anu (nama suaminya). Bisakah kita secara perlahan merombak itu semua?. Paling tidak dari diri kita sendiri. Saya sangat heran sewaktu memulai hidup berumah tangga. Pada saat acara perkenalan, kebetulan ada acara 17 Agustusan saya sudah memperkenalkan nama istri. Eh yang diingat dan menjadi panggilan koq nama saya.

Saya sedang memikirkan minimal untuk lingkungan saya supaya pertemuan-pertemuan dikampung tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tapi usaha itu tidak mudah. Ada beragam jawaban sewaktu diusulkan pertemuan Rt dan PKK dijadikan satu. Ada yang menjawab karena sudah dari dulu begitu, ada yang bilang siapa yang momong anak, ada yang bilang bapak-bapak pertemuannya malam. Kenapa kalau dirubah pertemuannya dijadikan satu. Lebih efektif, dan anak kan bisa diajak ikut pertemuan karena yang selama ini terjadi rapat PKK selalu riuh rendah celoteh anak. Kalau soal malam hari, rapat Rt itu paling malam kan tidak larut sekali hingga pukul 23.00. Namun begitulah kenyataan protes yang terlontar.

Ada persoalan yang sudah mendarah daging sehingga ‘pemberontakan’ perempuan di masyarakat tidak berhasil. Pertama soal budaya patriarkhi. Merubah budaya ini tidak semudah membalik telapak tangan. Disatu sisi saya berhasil mengatasnamakan STNK sepeda motor dengan nama istri namun gagal menempel papan nama atas nama dia. Ada kesedihan mendalam dalam diri saya sewaktu memesan papan nama tersebut. Kedua, Laki-laki adalah kepala rumah tangga. Hal itu jelas termaktub dalam UU Perkawinan. Konsekuensinya istri harus menjadi second position. Banyak perempuan menganggap hal ini sebagai wahyu sehingga mereka tidak pernah mau memprotesnya. Ketiga, ketidaksiapan perempuan. Memang tidak semuanya tetapi diakui atau tidak asumsi umum mengatakan demikian. Seringkali perempuan ketika mengalami kegagalan, baginya itu merupakan sebuah bencana besar. Tetangga saya bahkan melahirkan anak keduanya sambil menangis. “Anak satu saja mendidiknya sulit apalagi anak dua” katanya.

Terakhir persoalan kepasrahan total istri dalam mengelola rumah tangganya. Ini tidak diartikan menang-menangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak perempuan keluar dari kerja hanya karena mereka menikah atau punya anak padahal karir kedepan lebih bagus. Kedepan semua ini perlu kita rubah sehingga antara laki-laki perempuan harus berposisi sejajar dan bermitra. Ada kohesivitas positif yang menguntungkan kedua belah pihak dan kerjasam untuk membangun rumah tangga yang lebih baik. Saya hanya ingin mengucapkan iri dengan Ibu Ike dan Ibu Reko karena mereka bisa menuliskan Ibu Rumah Tangga, apakah akan saya tulis Bapak Rumah Tangga? Salam buat suami anda.



Muhammad Histiraludin
Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo