Sabtu, 02 November 2002

Perempuan dalam Persfektif Pembangunan Kota Solo

|0 komentar


Perempuan sesungguhnya aset pembangunan yang sangat luar biasa besarnya dan pentingnya. Artinya keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam setiap proses perencanaan pembangunan layak dan harus diperhatikan. Lalu bagaimana pemerintah kota Solo bisa mengkerangkakan konsep pemberdayaan perempuan sehingga kelompok ini memang punya sumbangan yang berarti. Sejauh mana Dinas Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surakarta sudah memulai langkahnya. Dari beberapa Perda yang dihasilkan belum nampak adanya keseriusan pemerintah melakukan hal ini.

Konteks pemberdayaan ini juga tidak hanya terletak pada perempuannya sendiri untuk berdaya namun juga perspektif kaum laki-laki apakah juga sudah terbebaskan. Pertanyaan ini perlu dilontarkan karena kalau ada pertanyaan ‘buat apa perempuan harus terlibat dalam pengambilan keputusan’ akan menjadi bias. Artinya yang perlu dikerjakan bersama bagaimana seluruh komponen masyarakat punya gender perspektif tidak hanya gender balance dan gender sensitive. Dari mana kita akan mulai bangun ?. Tentu saja dari diri masing-masing, kemudian menginjak pada keluarga, lalu lingkungan kemudian wilayah yang lebih besar. Akhirnya wacana tentang gender perspektif akan berkembang dan bisa dikerangkakan serta mewarnai policy.

Semua ini akan berhasil apabila ada komitmen jelas di masyarakat bahwa keberdayaan perempuan penting. Di birokrat kemudian terjadi bagaimana agar konsep-konsep atau pembangunan yang dilakukan bisa meningkatkan kemampuan perempuan serta bagi dewan bisa menginisiasi kebijakan-kebijakan berperspektif perempuan. Rombak aturan-aturan yang meminimalisir apa yang membelenggu dan kemudian direvisi supaya tujuan bersama itu lebih cepat tercapai.

Mengikuti Focuse Group Discussion tentang strategi pembangunan kota untuk kalangan penggerak LSM & Akademisi yang diselenggarakan oleh City Development Strategy (CDS) beberapa waktu yang lalu di RM Ramayana , ada hal yang menarik yang selama ini menjadi perdebatan serius di kalangan komunitas LSM  tetapi sangat sulit untuk mencari strategi yang tepat dalam mencari penyelesaiaannya, yaitu isu tentang gender perspektif dalam pembangunan yang sangat minim porsinya. Isu ini sangat sensitif tetapi justru (celakanya) seakan tidak disadari oleh terutama kamu perempuan sendiri yang menjadi atau pelaku yang sesungguhnya. Perdebatan yang muncul sering bermuara budaya paternalistic, feudal dan menjebak pada pusaran apakah bisa perempuan berdaya

Bila kita tarik kebelakang, pada jaman regim orde baru banyak organisasi kewanitaan yang fungsinya lebih pada memperkuat legitimasi komunitas laki-laki. Lihat saja semacam PKK dan Dharma Wanita pasti akan mendorong agar nyonya-nyonya bisa berperan sebagai ‘wanito’ (wani ditoto/ berani diatur oleh suami mereka). Secara structural pasti jabatan ketua dipegang istri pejabat. Misalkan ditingkat kelurahan tentu Ketua PKKnya ya bu lurah, Di lingkungan birokrasi ketua dharma wanitanya ya istri pejabat itu. Bagaimana kalau pejabatnya ternyata perempuan, posisi itu akan dipegang istri pejabat dibawahnya tetapi masih dalam kendali pejabat perempuan tersebut.

Kebijakan-kebijakan itu bahkan diterjemahkan sampai ditingkat menteri dalam bentuk Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (Menneg UPW). Jadi bentuk lembaga itu hanya mengurusi bagaimana seorang perempuan hanya berperan. Kondisi ini memang dikerangkakan Soeharto, pria asal Jawa yang memahami betul bahwa perempuan salah satu factor yang bisa membelenggu laki-laki. Namun perubahan kearah yang lebih bagus dilakukan pada masa Abdurrahman Wahid yang membentuk departemen pemberdayaan perempuan. Tidak hanya mengurusi namun memberdayakan (bukan memperdayakan) perempuan. Sayangnya implementasi di birokrasi yang tingkatnya lebih rendah masih sulit. Sebab hal ini memang menyangkut soal budaya tadi.

Perempuan dan Budaya yang Melingkupinya
Masalah perempuan tidak pernah bisa lepas dari masalah ketidakadilan. Selama ini peran dan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat sedemikian sempitnya bahkan seolah-olah tidak diberikan peran secara serius. Perempuan  ‘cukup’ diberi tanggung jawab dalam lingkup domestik yaitu sebagai ibu rumah tangga yang bertanggungjawab pada keluarga, suami, anak dan urusan-urusan rumah tangga lain. Dan dalam kenyataannya hal demikina cukup untuk perempuan, bahkan perempuan merasa enjoy dan menikmati apa adanya posisi seperti ini.

Melihat kenyataan seperti ini tidak bisa disalahkan atau faktor kesalahan diberikan kepada perempuan. Sejenak dalam proses terbentuknya peran ini, kultur budaya yang sangat kental memposisikan perempuan pada posisi seperti ini. Laki-laki bisa sangat mendominasi sehingga menjadi pedoman turun temurun yang biasa juga disebut peran reproduksi yang bertanggungjawab atas sektor domestik.

Interprestasi pematokan peran tersebut menjadi salah satu bagian penting dalam pembentukan struktur masyarakat yang dibentuk, disosialisasikan dan diperkuat. Bahkan dikontruksikan secara sosial/kultural melalui negara bahkan melalui ajaran agama. Pembagian peran sebagai dasar distribusi tanggungjawab pria dan wanita yang ditetapkan secara sosial dan kultural. Bukanlah kodrat Tuhan melainkan suatu perbedaan yang dihasilkan dan disosialisasikan melalui sejarah yang sangat panjang dengan sarat muatan kepentingan tertentu.

Peran tersebut telah dimuati nilai-nilai budaya (kultur) serta ideologi tertentu yang kemudian menghiasi cara pandang masyarakat. Dalam masyarakat budaya yang ada mengajarkan bahwa perempuan didudukkan tidak setara dengan laki-laki. Dalam keyakinan berfikir dan bertindak seperti itu terletak pada doktrin teologis agama.Agama sebagai pedoman hidup yang paling mendasar, manfaat bagi manusia memiliki pengaruh fungsional terhadap struktur sebuah masyarakat, mempunyai peran penting. Yang oleh sebagian pengikutnya ajaran agama ditafsirkan sedemikan rupa sehingga berfungsi sebagai alat legitimasi terhadap struktur sosial yang menindas perempuan.

Perbedaan pembagian peran (gender) sebenarnya tidak menjadi persoalan ketika tidak menimbulkan ketidakadilan. tetapi sebaliknya yang terjadi gender justru menggiring dan melahirkan sikap dan praktek yang mendiskriditkan perempuan. Sikap dan praktik diskriminasi ini menyiratkan hubungan yang bersifat politis, hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan atau hubungan dominasi dan subordinasi. Dibutuhkan dekonstruksi pemikiran dan budaya dimasyarakat agar terwujud apa yang dinamakan kesetaraan dan keadilan gender.

Ketidakadilan terhadap perempuan tersebut terimplementasikan dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi ekonomi atau proses pemiskinan terhadap aset perempuan, subordinasi, maksudnya perempuan diposisikan pada posisi di bawah laki-laki, kekerasan (violence) yaitu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikoligis seseorang, stereotif yaitu pelabelan /penandaan terhadap kelompok tertentu misal perempuan makluk lemah dan penggoda, beban ganda yaitu perempuan bertanggungjawab pada kerja domestik (rumah tangga) dan kerja publik (produktif di luar rumah).

Banyak terjadi praktek diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara. Ketika masyarakat pun melakukan diskriminasi terhadap perempuan karena sesungguhnya negara tidak bersungguh sungguh mengubah budaya patriarki. Hal itu tercermin pada kebijakan-kebijakan yang dibuat negara dari tingkat pusat (nasional) sampai di tingkat daerah (lokal) . Penerapan kebijakan di internal pemerintahan sendiri juga tidak gender perspektif.

Kebijakan pemerintah itu antara lain tertuang pada UU seperti UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 31 Ayat 3 menyebutkan Suami adalah Kepala Keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. UU ini berimplementasi pada pembatasan peran perempuan dalam berbagai sektor . Dalam rumah tangga sendiri bapak atau suami menjadi penentu utama dan ibu atau perempuan hanyalah sebagai pelaksana dari kebijakan/keputusan-keputusan yang diambil bapak/suami/laki-laki. Dibidang pendidikan perempuan akan dinomorduakan, setelah anak laki-laki yang harus dan menjadi target utama menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Implikasi dari kebijakan rumhatangga ini pada ruang-rung publik di masyarkat perempuan sangat minim dan relatif hanya dipercaya pada hal-hal teknis yang tak lepas dari kebiasaan di sektor domestiknya (rumahtangga), tidak pada peran pengambil atau pemutus kebijakan penting di masyarakat.

Padahal kalau kita coba renungkan, sesunguhnya perempuan (ibu) adalah faktor terpenting dalam keluarga dan masyarakat. Peran yang diambil sangat besar dalam rumahtangga terutama untuk tangung jawab mendidik anak, merawat anak, yang tentunya ini seharusnya menjadi tangung jawab/beban bersama. Jika beban tanggung jawab itu dilakukan bersama maka akan bisa diukur sampai puluhan tahun yang akan datang generasi hasil didikan tentu lebih lengkap atau minimal punya perspektif kedepan.